Meskipun tak berpendidikan tinggi, Novela Nawipa jauh lebih berharga bagi NKRI dibandingkan dengan perempuan bergelar prodesor doktor di Jakarta, tapi toleran terhadap korupsi. Lebih khusus lagi, Novela Nawipa jauh lebih hebat dari segerombolan perempuan tengik berwatak semprul di Kompasiana ini, yang sok pandai berkoar tapi mendukung kecurangan pemilu. Novela Nawipa adalah mercu-suar bagi semangat pembangunan NKRI.
(Salam hormatku untukmu, Novela, perempuan agung! Aku hanya pantas berjuang di belakangmu. Aku akan mendukungmu, memuliakanmu. Aku akan tunduk pada setiap perintahmu untuk memuliakan bangsa ini!)
Hallo, Nias? Apakah Warga Pulau Nias tetap membiarkan dirinya dilecehkan oleh oknum-oknum pengkhianat demokrasi? Apakah suara orang mati kalian ikutkan dalam pemilu? Satu orang enam suara? Apakah kalian bangga dengan kebodohan itu? Mana suaramu? Tak adakah sekeping jiwa menyamai Novela Nawipa diĀ Pulau Nias?
Hallo, Jakarta, pusat peradaban! Berapa banyak kotak suara kalian buang di Cilincing?
Kota Jakarta menjadi pusat kecurangan pilpres 2014 ini. Kota yang berisi manusia terkaya dan termiskin, manusia paling bermoral dan paling bejat, manusia paling bermartabat dan paling hina-dina. Berkwintal-kwintal tinja manusia menumpuk disisi rel kereta api Gunung Sahari, melambangkan buruknya moral Warga Jakarta.
Cari makan susah, buang kotoran juga susah. Tiba waktu pemilu, warganya berlomba-lomba melakukan kecurangan. 8500 TPS terindikasi melakukan penggelembungan suara. Itu jumlah yang sesuai untuk dipanggang di api neraka!
Brengsek, Warga Jakarta!
*****