Wajar jika, dari tahun ke tahun, hasilnya selalu berbeda. Ada yang jelas-jelas elektabilitasnya rendah sebagai Calon Presiden, meski sudah jauh lama memproklamirkan diri, tiba-tiba melejit. Ada yang selama ini digadang-gandang; ada relawannya dengan segala kelengkapannya justru seperti lenyap tak berbekas.
Konflik, keraguan, saling silang pendapat dari Calon Presiden dengan yang pro dan kontranya tidak mengemuka. Yang ada hasil matangnya saja. Sementara detilnya disembunyikan entah ke mana. Akibatnya, hasil yang tidak sesuai dengan yang diinginkan membuat banyak orang mencak-mencak. Meski sebenarnya -- sebaiknya lewat survei juga -- perlu dikaji, sejauh mana efektivitas kampanye hitam itu bermanfaat di zaman keterbukaan seperti sekarang.
Berapa persen orang Indonesia yang menjadi pembaca aktif? Berapa banyak orang Indonesia yang memperhatikan berita-berita politik? Apakah ada gunanya survei yang sering dikatakan pesanan itu? Mungkin, bisa dibandingkan dengan banyaknya golput -- baca: tidak memilih -- dalam Pilkada di provinsi, kotamadya, atau kabupaten. Rasanya survei seperti ini juga perlu! Masalahnya, siapa yang mau membiayai?
Meski waktunya tinggal setahun lagi, rasanya Calon Presiden republik ini memang masih dalam teka-teki. Karena segala sesuatunya masih banyak tergantung. Ya partainya, calon wakil presidennya, perhitungan-perhitungan politiknya.