Saya sangat bersyukur, OD kamar 20 itu sudah mendapatkan anugerah. Suatu kemukjizatan mengarah kebaikan lahir batin, yang seluruhnya terletak di dalam kendali Sang Pemilik Kehidupan.
Sebab dikala itu malam jum' at, saya tidak langsung merebahkan tubuh buat tidur. Melainkan berwudhu serta membuka Alqur' an. Melanjutkan bacaanku lebih dahulu. Sehabis membaca surah yasin. Aktivitas mengaji baru saya selesaikan dikala dinihari, bersamaan datangnya kantuk yang mulai mengusik konsentrasi.
Lelapku dalam tidur tidak berlangsung lama. Bersamaan masuknya Basri serta Dino ke kamar buat istirahat. Kedua narapidana yang dipercaya selaku penanggungjawab Blok B tersebut, memanglah diketahui sangat tidak sering tidur.
Kekuatan raga mereka luar biasa. Seolah mengistirahatkan tubuh dengan tidur, bukan lagi bagian dari kebutuhan badannya. Suasana serta keadaan rutan, lama- lama tetapi tentu, sudah banyak mengganti Kerutinan seorang.
Sehabis merasa nyawa sudah berkumpul kembali, lama- lama saya bangkit dari tempat tidur serta mengarah kamar mandi. Berwudhu. Buat melakukan solat malam. Menyambungkan jiwa seseorang makhluk kepada Khaliqnya.
Saat sebelum mengawali prosesi penyambungan jiwa serta penyerahan diri secara total kepada Ilahi Robbi, pernah saya memandang Rudy. Anak muda tersebut masih membaca novel yang terdapat di tangannya.
Apalagi dia membacanya sembari berdiri. Pas di balik pintu kamar. Suatu kiat buat menepis kantuk. Kembali saya mengucap syukur di dalam hati, atas anugerah yang didapat Rudy. Pula kagum dengan kekuatan tekadnya. Suatu penyeimbang yang saya yakini hendak mengganti jati dirinya.
Keasyikanku merangkai puja- puji kepada Pemilik Alam pada kesunyian atmosfer rutan, menggapai titiknya dikala adzan Subuh berkumandang. Serta dikala itu, Rudy mendekat. Dengan keadaan sudah berwudhu serta mengenakan kain sarung dan berkopiah.
" Om, kita subuhan di masjid yok," ajaknya, pelan tetapi penuh ketegasan. Saya cuma menganggukkan kepala.
Serta sesaat setelah itu, kami sudah terletak di masjid. Belasan tahanan serta sebagian sipir turut solat berjamaah. Yang diimami penanggungjawab majelis taklim. Yang pula berstatus seseorang napi.
Sehabis bermacam- macam doa yang biasa dilantunkan berakhir, saya juga bergerak buat keluar masjid. Dikala seperti itu mataku memandang Rudy. Duduk di sudut kanan bagian balik masjid. Menundukkan mukanya dengan kedua tangan menengadah.
Lama- lama, saya duduk di dekatnya, tanpa mengusik keasyikannya melaksanakan ritual keagamaan. Saya perhatikan, butir demi butir air dari matanya berjatuhan. Menimpa kain sarungnya. Pahamlah saya, betapa anak muda tersebut tengah memohonkan pengampunan diri kepada Sang Maha Pengampun.
Lumayan lama saya berdiam diri, duduk di samping bagian agak balik dari posisi Rudy, sampai anak muda itu menuntaskan aktivitas batinnya.
Begitu melihatku terletak di dekatnya, Rudy otomatis menggeser sedikit tubuhnya. Serta memelukku dengan kencang. Tubuhnya bergetar. Bergemuruh khalwat batinnya yang terdalam.
" Terimakasih banyak, om. Rudy tidak ketahui wajib bilang apa sama om. Berkat arahan om, Rudy dapetin pengalaman yang luar biasa indahnya ini," kata ia dengan suara penuh haru, seraya terus menatapku.
" Teruslah bersyukur serta berterimakasihlah kepada Allah, Rud. Ia yang memberimu anugerah berkat kemantepan tekadmu," jawabku, sembari menepuk bahunya.
" Jujur ya, om. Inilah awal kali dalam hidup Rudy laksanain solat. Artinya, solat yang cocok dengan tata triknya. Bukan yang asal jungkat- jungkit aja," ucap Rudy, masih dengan suara terbata.
" Alhamdulillah. Terus aja bersyukur atas anugerah ini ya, Rud. Inshaallah, kalian bakal memiliki kemantepan iman," sahutku, serta mengajaknya meninggalkan masjid buat kembali ke kamar.
Dikala merambah blok tempat kami menempuh penahanan, sebagian tamping kebersihan yang sudah mengawali aktivitasnya, nampak memandangi Rudy dengan sorot mata keheranan.
" Tidak salah ini, Rudy. Kalian beneran habis dari masjid? Kayaknya hari ini bakalan hujan seharian deh, gara- gara kalian solat," celetuk salah satu tamping kebersihan kepada Rudy.
Anak muda berstatus napi permasalahan penggelapan mobil bosnya yang berjalan di sampingku itu, cuma tersenyum. Sama sekali tidak menghasilkan sahutan apapun atas celetukan yang ditunjukan kepadanya.
Seusai menaruhkan kain sarung serta kopiah di lemarinya, Rudy membuatkan saya kopi getir. Dia sendiri menyeduh teh manis kesukaannya.
" Om ingin makan pagi apa? Beli apa makan yang terdapat aja," kata ia, dikala menaruhkan secangkir kopi getir di meja kecil yang terdapat di ruang depan kamar, tempatku terletak dikala itu.
" Emang apa santapan yang terdapat, Rud?" tanyaku.
" Nasi yang beli kemarin sore masih terdapat sebungkus kok, om. Jika om ingin makan pagi itu, Rudy buatin mie goreng. Kan masih terdapat kerupuk pula memiliki om," jelasnya.
" Ya telah, buat mie goreng aja, Rud. Buat 2 ya, kita makan pagi bareng," kataku, serta mengawali menyeruput kopi getir yang terdapat di meja.
Dikala apel pagi menjelang. 2 orang sipir masuk ke Blok B, diiringi seseorang tamping. Salah satu sipir yang bertugas pagi itu merupakan Almika. Begitu langkahnya hingga di pintu kamarku, dia masuk ke kamar.
Menyalamiku yang masih duduk di ruang depan sembari menikmati makan pagi mie goreng dilengkapi nasi serta kerupuk.
" Sehat terus ya, om. Nah, seneng Mika ngelihat om jika pagi- pagi telah makan pagi begini. Melindungi keadaan tubuh tetep bugat itu yang utama disini," ucap Almika, dengan senyum khasnya. Ramah serta santun.
Serta sesaat setelah itu, sipir berumur 35 tahunan ini menggerakkan tangannya, masuk ke kantong celana dinasnya. Tidak lama setelah itu, dia menghasilkan 3 bungkus rokok serta memberikannya kepadaku.
" Alhamdulillah. Kalian ini terdapat aja yang dikasih ke om jika lagi dinas, Mika. Terimakasih banyak ya. Inshaallah rejekimu terus mengalir serta penuh berkah," kataku, menyahuti pemberiannya.
Almika cuma tersenyum, serta setelah itu meninggalkan kamarku buat kembali melanjutkan tugasnya. Mengabsen segala tahanan yang terletak di Blok B.
Seusai menjajaki apel pagi, saya keluar kamar. Duduk di halaman depan sembari melanjutkan menikmati kopi getir serta berikan makan ikan yang terdapat di kolam kecil dan burung parkit yang terus aktif berkicauan di dalam sangkarnya.
" Om, senin depan telah mulai persidangan ya," suatu suara mengejutkanku. Nyatanya Almika sudah berdiri di sebelah tempatku duduk di sofa halaman.
" Iya, agendanya gitu, Mika. Kok kalian ketahui," sahutku, sembari memintanya duduk di sofa yang terdapat di depanku.
" Mika amati informasinya di kantor rutan, om. Syukurlah jika telah mulai persidangan. Supaya cepet dapet kepastian hukum, jadi kalaupun nantinya didiagnosa berapa lama, om telah dapat menata hati buat tetep tabah serta ikhlas menjalaninya," jelas Almika.
" Yah, moga- moga aja sidangnya tidak bertele- tele ya, Mika. Supaya cepet putus pula," ujarku, menimpali.
" Ikuti serta nikmati aja prosesnya, om. Tidak terdapat suatu juga di dunia ini yang tidak terdapat kesimpulannya. Ingin itu senang ataupun derita, tentu tetep ketemu ujungnya. Yang berarti, om tetep tabah serta ikhlas," lanjut Almika dengan kalem.
" Inshaallah om tetep dapat tabah serta ikhlas ya, Mika. Memanglah berat lakukan kehidupan semacam ini. Tetapi, ya inilah kenyataannya. Tidak bisa jadi dapat pula om membebaskan diri dari realitas yang terdapat," tanggapku, berupaya senantiasa menampilkan ketenangan.
" Mika percaya, om kokoh kok ngadepin apapun realitas ini. Yang berarti, om tetep dapat tabah serta ikhlas. Jika kata Buya Hamka, jangan khawatir jatuh, sebab yang tidak sempat memanjatlah yang tidak sempat jatuh. Pula jangan khawatir kandas, sebab yang tidak sempat kandas cuma orang yang tidak sempat melangkah," Mika melanjutkan perkataannya, senantiasa dengan nada kalem.
Mendengar perkataan sipir low profile itu, saya cuma dapat tersenyum. Lama- lama, jiwaku merasa aman. Sebongkah atensi Almika yang dikerjakannya sepanjang ini, sudah membuatku terus sanggup menata keyakinan diri. Suatu yang sangat diperlukan dalam menempuh hari- hari di penjara.
" Om hendak terus berjuang buat senantiasa bersyukur serta bersabar lakukan seluruh ini, Mika," ucapku, sebagian dikala setelah itu.
" Telah bener itu, om. Sebab bersyukur serta bersabar merupakan rem buat memperlambat ketinggian hati, kecepatan kurang ingat diri, serta kelebihan tekad. Melalui syukur serta tabah seperti itu kontrol diri serta keyakinan diri kita hendak terus terpelihara," jawabnya, dengan tersenyum.
Seketika Almika memandang ke atas. Ke arah langit. Serta seekor burung elang tiba- tiba melintas, di antara bangunan rutan, sembari menghasilkan suara khasnya.
" Nah, terdapat burung elang melalui, om. Jika nurut Mika, om wajib dapat seperti burung itu. Yang namanya elang, senantiasa terbang sendirian, tanpa butuh kawan. Beda betul sama bebek, yang senantiasa berjalan dengan berbondong- bondong," kata Almika lagi, sembari alihkan pemikirannya dengan menatapku. Tajam. Memotivasi. Tanpa menggurui.