Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop Pilihan

Satu Dekade Rimbawan Dipimpin Perempuan

14 Desember 2023   10:00 Diperbarui: 16 September 2024   09:24 384 5
Setelah membaca suatu artikel dalam Jurnal Sosiologi yang diterbitkan oleh kampus UI pada edisi 2023, lantas saya terpantik untuk membuat tulisan ini. Judul artikel itu adalah "Narimo ing Pandum":  How Highlander Women Perceive Poverty as a Destiny in Gunungkidul, Yogyakarta (Jati, 2023).

Dengan berfokus pada perempuan miskin di dataran tinggi, hasil riset sang penulis menunjukkan bagaimana persepsi subjek mengenai kemiskinan sangat ditentukan oleh status marjinal mereka sebagai perempuan, yang menghalangi mereka memperoleh keterampilan untuk bertahan hidup. Hal ini mengakibatkan semakin intensnya ketidakberdayaan yang dipelajari, dimana "narimo ing pandum"---menyerahkan nasib pada Tuhan--- menjadi cara untuk memahami pemiskinan seseorang.

Pada akhirnya, pandangan dunia ini menghasilkan situasi paradoks dimana perempuan miskin tidak mampu bertahan hidup tanpa berbagai bentuk bantuan sosial, namun bantuan tersebut, betapapun diperlukannya, tidak memberdayakan mereka dan semakin melanggengkan budaya kemiskinan.

Pertanyaan oleh saya, lalu bagaimana jika bantuan sosial itu berupa modal, akses lahan, teknologi, pengetahuan atau keterampilan yang bisa diperoleh secara setara dan adil, baik oleh perempuan maupun laki-laki ? Tentunya budaya kemiskinan itu bisa dituntaskan.

Ingatan saya kemudian melayang ke tahun 2014, saat Saya mengikuti mata kuliah Pengelolaan Hutan Rakyat ketika menempuh S2 di IPB. Pada sesi tentang isu gender, ibu dosen memaparkan tentang berbagai riset yang menunjukkan pada beberapa daerah atau wilayah di Indonesia, betapa luar biasanya peran perempuan dalam pekerjaan terkait pengelolaan lahan seperti bertani, berladang, berkebun, agroforestri, hutan rakyat dan lain-lain.

Pada salah satu kajian yang dipaparkan, bahkan menunjukkan perempuan menanggung peran ganda yaitu ikut ke ladang saat menanam, memelihara dan memanen, tetapi juga tetap harus melayani keluarga dan mengasuh anak. Namun demikian, saat pengambilan keputusan terkait perencanaan jenis, penentuan harga maupun pemasaran, dan bahkan keikutsertaan dalam pelatihan, peran perempuan sedikit terlihat.

"Sebegitu patriarki-nya kah dunia yang saya tempati ini ?" batin saya saat itu.

Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.

Pertanyaan batin saya terjawab tidak lama kemudian. Pada waktu yang sama di tahun 2014, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia yang juga memiliki latar belakang pendidikan Kehutanan menunjuk seorang perempuan menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Bukanlah hal mudah tentunya mensinergikan antara brown issue dengan green issue, ataupun irisan keduanya dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Seperti teori kurva environmental Kuznetz, terbayang beratnya.

Tidak sedikit di media sosial atau obrolan santai di warkop saat itu, tentang stereotip yang menjebak kreativitas cara berpikir beberapa orang. Yaitu meragukan perempuan dalam dunia rimbawan yang katanya penuh unsur maskulinitas.

Dalam hati saya hanya bisa berkata, " belum belajar kesetaraan gender kau ya ? Makanya susah maju."

Ingatan saya kembali melayang jauh ke satu dasawarsa sebelumnya, yaitu pada tahun 2003 saat Saya pertama kali masuk kuliah S1 ke kampus kehutanan di IPB. Ketika itu saya mengikuti Diklatsar Rimpala (Rimbawan Pecinta Alam), sebuah organisasi mahasiswa di bidang kepecintaalaman.

Proses diklatsar mahasiswa pecinta alam yang panjang dan melelahkan tampaknya menimbulkan keraguan pada beberapa mahasiswa. "Apakah mahasiswi -- mahasiswi yang ikut acara ini mampu bertahan ?"

Ternyata seleksi alam berkata lain. Satu persatu peserta berguguran. Dari lima puluhan peserta yang mendaftar, hanya delapan orang yang mampu bertahan melanjutkan sampai acara puncak dan pelantikan di Gunung Salak. Syukurnya saya termasuk menjadi bagian dari delapan orang tersebut. Dan hebatnya, lima dari delapan orang itu adalah perempuan.

Pengalaman empiris dan bukti -- bukti di lapangan menunjukkan bahwa ternyata perempuan mampu dan berhak memperoleh value yang sama atau setara dengan laki-laki, termasuk dalam dunia kehutanan.

Kembali ke saat ini. Hampir genap satu dasawarsa dunia rimbawan dipimpin sosok perempuan. Sejak tahun 2014, saat Presiden RI menunjuk seorang ibu menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga menunjukkan beberapa prestasi yang membanggakan.

Akses masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara melalui perhutanan sosial semakin diperluas dan dilembagakan. Kepercayaan negara terhadap rakyat melalui perhutanan sosial mampu mematahkan anggapan lama, bahwa negara hanya berpihak pada korporasi atau pemilik modal.  Melalui perhutanan sosial, taraf hidup masyarakat sekitar hutan bisa ditingkatkan dan sumber daya hutan tetap dijaga oleh mereka sebagai asset hidup.

Disisi lain, luas kebakaran hutan mampu ditekan dan dikendalikan dari periode tahun-tahun sebelumnya. Laju deforestasi juga menurun yang ditandai oleh meningkatnya proporsi tutupan daratan berhutan. Rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi ekosistem gambut dan mangrove semakin gencar dilakukan. Konservasi alam dan ekowisata semakin berkembang dan memberikan beberapa catatan menggembirakan.

Anggapan bahwa kehutanan sebagai penghambat laju pembangunan perlahan bergeser menjadi pendukung utama untuk pemenuhan energi, pangan, dan pengembangan infrastruktur.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun