Sejalan dengan prinsip inklusif pada SDGs maka seyogyanya permasalahan kemiskinan di berbagai negara dapat di tanggulangi dengan melibatkan seluruh pihak, baik Pemerintah, Dunia Bisnis, Filantrofi, maupun civil society lainnya.
Ibarat tikus mati di lumbung padi, tentunya kita tidak ingin ditengah upaya menuju  Indonesia Maju, dimana investasi dan dunia usaha didorong untuk semakin produktif, namun masih ada sebagian masyarakat yang benar-benar terpuruk secara ekonomi, baik secara struktural maupun budaya.
Kemiskinan ekstrem adalah kemiskinan yang didefinisikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai suatu kondisi dimana manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Kemiskinan ekstrem tidak hanya bergantung pada pendapatan, tetapi juga ketersediaan jasa.
Seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada dibawah garis kemiskinan esktrem atau setara dengan USD 1.9 Purchasing Power Parity (PPP). Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp 10.739/orang/hari atau Rp 322.170/orang/bulan (BPS,2021).
Mengutip data dari BPS (2022) lebih dari 9% penduduk Indonesia masuk dalam kategori penduduk miskin. Bahkan, sekitar 2%-nya tergolong miskin ekstrem. Meskipun Bank Dunia menyebutkan angka tersebut kini menjadi 1.5%, pemerintah berupaya keras untuk dapat mencapai target 0% pada 2024.
Isu utama percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem adalah bagaimana memastikan program perlindungan sosial dan pemberdayaan dapat secara efektif mengurangi kemiskinan termasuk kemiskinan ekstrem. Oleh karena itu penguatan ekonomi yang inklusif dan inovasi sosial mutlak diperlukan.