Sewaktu turis mahmud (Mamah Muda) ini balik ke negaranya Amerika, satu persatu orang yang pernah kontak dengan doi mendapat gejala yang sama. Termasuk selingkuhannya dan keluarganya. Batuk, panas, demam tinggi, pusing dan berakhir dengan kematian. Kalau dalam film, virusnya dikasih nama MEV-1. Karena mirip-mirip corona sekarang film ini rame lagi.
Tapi fokus tulisan ini bukan ke film itu. Melainkan ke ekosistem hutan yang menjadi habitat kelelawar yang terganggu keseimbangannya, lalu wabah penyakit bergeser ke masyarakat.
Ibarat Hutan, tubuh kita juga adalah ekosistem. Masing-masing mempunyai peran yang saling pengaruh mempengaruhi. Yaitu  suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup (biotik) termasuk mikroorganisme dengan lingkungannya (abiotik).
Ditengah perjuangan bersama melawan virus Corona, tiba-tiba saya ingat pada salah satu penyakit tropis terabaikan yang endemik di Lore Lindu - Sulawesi Tengah. Penyakit ini disebut Schistosomiasis alias demam siput/ demam keong. Ternyata cacing pipih dari spesies _Schistosoma japonicum_ adalah parasit yang menyebabkan infeksi penyakit ini pada manusia melalui perantara keong di air dari genus Oncomelania.
Pertanyaannya, mengapa keong ini bisa menjadi ancaman ? Karena ekosistem hutan sebagai habitat Keong juga diganggu. Saat sistem keseimbangan ini goyah maka semua makhluk tentu mencari jalan keluarnya sendiri.
Maka tepat sekali Dataran Lore Lindu ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi Taman Nasional oleh Pemerintah. Yang artinya keseimbangan ekosistemnya harus kita jaga.
Itulah kenapa kita jangan hanya memandang hutan sebagai tempat hidup monyet saja. Tetapi sebagai sistem yang menjadi bagian sistem dari hidup kita (manusia).
Jika ada yang bisa menjadi racun maka tentu ada yang bisa menjadi penawarnya.
Ibarat minuman kopi kejatuhan lalat. Saya selalu tenggelamkan lalat ini baru membuangnya, dan kemudian lanjut menikmati kopinya. Karena konon sayap yang kiri adalah racun dan sayap yang kanan adalah penawarnya. Ini riwayat dalam kitab Bulughul Marom yang pernah saya baca dan sampai saat ini masih saya percaya. ☕
Kembali ke masalah Corona yang konon mutasi virus ini juga berasal dari kelelawar, bisa jadi penawarnya ada pada sistem tempat kelelawar itu hidup alami, mencari makan, tinggal dan bercengkrama, yaitu hutan.
Sebagai ekosistem, hutan juga merupakan sumber bahan baku obat yang potensinya luar biasa. Salah satunya sebut saja Gaharu.
Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari genus Aquilaria. Jika dulu pohon ini banyak diburu di alam, sekarang sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat sekitar hutan.
Gaharu sebenarnya adalah respon dari mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka pada pohon inang. Luka ini dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman Aquilaria spp dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen.
Resin gaharu ini lah yang berharga tinggi dan bernilai ekspor sebagai bahan baku parfum wewangian, Â obat dan kosmetika.
Kini kayu gaharu tidak hanya untuk diambil bagian gubalnya dan minyaknya yang bernilai tetapi juga air destilasinya juga dimanfaatkan.
Khasiat Gaharu luar biasa. Gaharu adalah antibodi alami yang terbetuk dari ekosistem. Mungkin saja Gaharu juga bisa untuk menangkal virus Corona. Karena proses terbentuknya juga hampir-hampir mirip, tapi tentu perlu penelitian lebih lanjut.😃
Salam sustainable ☕
Khulfi M. Khalwani