Dalam kesehariannya peran perempuan cenderung lebih dekat dengan lingkungan, seperti ketersediaan air bersih, pengelolaan sampah rumah tangga, persemaian dan pembibitan pohon, merawat tanaman, hortikultura, agroforestry, dsb. Khususnya perempuan yang berada di desa-desa, umumnya mereka mempunyai pengetahuan tradisi mengenai pengolahan hasil hutan untuk pangan, tanaman obat dan kearifan lingkungan.
Di era globalisasi saat ini, Perempuan juga mempunyai kemampuan lebih untuk menggerakkan masyarakat, sehingga membuat perempuan berpotensi untuk gerakan perbaikan lingkungan hidup dan kehutanan, termasuk di Indonesia.
Pada level rumah tangga, masalah yang berkaitan dengan perempuan dan lingkungan hidup, dapat terlihat dari semakin lazimnya penggunaan zat-zat kimia di setiap aspek, bahkan hingga produk kecantikan.
Kekurangpahaman perempuan dan keterbatasan akses perempuan terhadap berbagai informasi tentang lingkungan hidup yang membuat perempuan berpotensi turut andil merusak lingkungan. Dari segi dampaknya, perempuan juga menjadi lebih rentan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Pada kasus yang lebih luas lagi, yaitu perubahan iklim, kembali perempuanlah yang menjadi sosok yang paling rentan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political Science terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002, menemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam ternyata berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan gender gap dalam masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan ternyata merupakan korban terbesar dari berbagai bencana alam yang terjadi. Akibatnya, terjadi peningkatan angka kemiskinan di kalangan perempuan dan semakin terbukanya jurang ketidaksetaraan gender karena perempuan harus menanggung beban tanggung jawab ganda yang lebih berat daripada laki-laki.
Persoalannya, berbagai fakta empiris atas dampak perubahan iklim terhadap perempuan belum diiringi kesadaran akan pentingnya melibatkan perempuan, sebagai pihak yang "terlupakan" ke dalam berbagai pembahasan mengenai perubahan iklim.
Padahal pengalaman yang berbeda antara laki-laki dan perempuan merupakan alasan penting mengingat perubahan iklim memiliki implikasi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
Kondisi ironis tersebut yang mendorong komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selalu menekankan pentingnya mengintegrasikan perspektif perempuan dalam pengambilan kebijakan, salahsatunya dengan cara melibatkan perempuan sebagai aktor dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan perubahan iklim.