Oke, taruhlah dari sekian miliar manusia di dunia hanya segelintir orang yang membalak hutan. Namun, fakta masifnya pembalakan liar kembali membuktikan bahwa kerakusan satu orang manusia saja ternyata tak terbantahkan mampu membawa pengaruh buruk bagi lingkungan dan mengancam keselamatan bersama semua makhluk penghuni bumi.
Bila isu soal pelestarian hutan ternyata terlalu besar untuk ditanggung oleh satu orang saja, maka kita perkecil isu itu menjadi isu lingkungan di sekitar pekarangan rumah saja.
Membangun personal branding/ citra diri atau jenama sebagai orang yang dikenal mencintai lingkungan mungkin bukanlah passion (renjana) yang menarik bagi sebagian besar manusia. Indikasinya sederhana saja, kalaulah sebagian besar manusia sejatinya memiliki renjana demikian, maka seharusnya isu soal sampah berserakan di jalanan, bahkan di depan halaman rumah, tidak akan menjadi masalah besar di berbagai tempat.
Kualitas personal sebagai pencinta lingkungan tidak bisa dibangun hanya dengan sekadar mengumbar foto-foto saat sedang mendaki gunung, berfoto di tengah hutan, menggendong hewan peliharaan, atau bahkan dengan menuliskan opini tentang penyebab kerusakan lingkungan.
Personal branding sebagai pencinta lingkungan bukannya tidak perlu untuk diketahui oleh orang lain. Inspirasi yang ingin ditularkan dengan berbagai cara soal mencintai lingkungan tetap perlu digaungkan.
Lihatlah berbagai fakta, misalnya, tentang liputan di televisi atas beberapa sosok pencinta lingkungan yang takjarang mampu menggugah kekaguman kita. Namun, sayang sekali, kekaguman itu sering kali berhenti begitu tayangan berakhir atau dijeda oleh iklan.
Membangun jenama soal mencintai lingkungan akan lebih efektif menginspirasi bila sifat itu sudah melekat dalam keseharian. Bisa di lingkungan tempat tinggal, di lingkungan kerja, di desa kita, atau dimana saja.
KEMBALI KE ARTIKEL