Mungkin sisa usianya tinggal lima, sepuluh, atau lima belas tahun lagi. Bisa juga lebih panjang, atau bahkan mungkin takada sisa waktu lagi sama sekali.
Ia bergulat di antara pilihan menjalani hidup dengan mempertahankan prinsip meskipun taknyaman, dan hidup dengan banyak kompromi agar bisa nyaman. Itu adalah kenyataan yang tersamar dalam batin, yang selalu datang dan pergi silih berganti dalam regangan kehidupan.
Ada satu kenyataan yang tidak terbantahkan, bahwa pria ini kini lebih sering terjerembab kedalam kubangan lumpur ketidaklayakan. Untungnya, masih ada saja tiang awan saat siang untuk berteduh, dan tiang api saat malam untuk menerangi.
Mujur, itu bukan buatan manusia. Pastinya itu diberikan bukan juga karena ia layak menerimanya.
Sebuah regangan tak terdefinisi. Semata-mata karena kemurahan hati dari yang takterihat. Itu saja sudah cukup.