Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Melacak Dana Hambalang Dengan Logika Sederhana

12 Januari 2014   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 352 6
Tudingan bahwa Anas, Nazar, Ibas, dll terlibat korupsi Proyek Hambalang menimbulkan tanda tanya - setidaknya bagi saya - bagaimana jalan ceritanya? Karena objeknya adalah uang negara, sedangkan uang negara itu bergerak melalui prosedur administrasi yang jelas, tidak dilempar-lemparkan saja seperti daun sirih di pasar pagi, tentu ada dinamika yang mudah dipahami. Uang negara itu, meskipun Rp. 1.- saja, pastilah meninggalkan jejak.

Pertama, pada tingkat tertinggi, semua uang negara berada di tangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Negara. Keluar/masuk uang negara dicatat dalam pembukuan Menkeu. Jika ada uang dari brankas Menkeu mengalir secara illegal ke tangan Nazaruddin atau kemana pun, yang mempertanggungjawabkannya adalah Menkeu. Lain tidak!

Dana Hambalang mengalir ke Kas Kemenegpora. Penggunaan uang itu menjadi tanggungjawab Menpora selaku Kuasa pengguna Anggaran. Jika brankasnya bocor, dicuri orang, mengalir secara illegal ke tangan Nazaruddin atau kepada siapa pun, maka yang bertanggungjawab adalah Menpora. Lain tidak!

Menpora membentuk Panitia Lelang untuk mengerjakan Proyek Hambalang, dengan aturan-aturan yang sudah jelas dan mengikat. Jika ada pelanggaran administratif dalam pelaksanaan Lelang, atau ada kecurangan, sogok-menyogok dan lain-lain, seluruhnya merupakan tanggungjawab Menpora cq. Panitia Lelang. Yang jelas sampai proses ini Anggaran Hambalang masih tersimpan di brankas Kemenegpora. Lain tidak!

Setelah Lelang selesai dan kontraktor pelaksana pekerjaan ditetapkan (bisa satu PT atau lebih sesuai pekerjaan, dalam hal ini salah satunya adalah BUMN PT Adhikarya), maka pekerjaan dimulai. Kontraktor memulai pekerjaan dengan uangnya sendiri, termasuk di dalamnya adalah penyelesaian administratif dan pekerjaan fisik, semua dibiayai oleh kontraktor. Dana Hambalang masih tersimpan rapi di brankas Kemenegpora. Jika uang itu keluar dari brankas secara illegal, maka itu menjadi tanggungjawab Menpora. Lain tidak!

Setelah pekerjaan mencapai 30 % terselesaikan, maka kontraktor pelaksana proyek mengajukan permintaan pembayaran kepada Menpora sejumlah 30 % dari anggaran seluruhnya. Menpora melakukan pemeriksaan fisik terhadap kebenaran laporan itu, meliputi segala hal sebagaimana telah ditetapkan, lalu membayarnya. Apabila terjadi bangunan roboh, longsor, menyalahi bestek, merupakan kewajiban kontraktor membetulkannya. Apabila terjadi penipuan, laporan palsu, yang berakibat kerugian pada negara, merupakan tanggungjawab Menpora. Lain tidak!

Begitulah seterusnya aliran Dana Hambalang itu.

Lalu di bagian manakah dalam proses ini seseorang bernama Nazaruddin mencoleng? Brankas siapa yang dicongkelnya? Ia bukan Menpora, bukan Ketua Panitia Lelang, bukan Inspektur Kemenegpora, bukan Dirut PT Adhikarya. Tiba-tiba ia meraih ‘jabatan’ koruptor Proyek Hambalang. Sedangkan menurut UU Tipikor, jabatan itu hanya boleh disematkan kepada penguasa brankas.

Lebih jauh lagi, Anas pun ditetapkan sebagai koruptor Hambalang karena ia melakukan jual-beli mobil dengan Nazaruddin. Begitu pula Ibas, dikaitkan dengan Dana Hambalang karena ia menerima sejumlah uang dari Nazaruddin. Sedangkan uang yang dipegang Nazaruddin itu berasal dari mana-mana, bukan cuma dari Hambalang. Bisa dari brankas kementerian lainnya, dimana banyak pejabat bersedia kongkalikong demi jabatan politik. Uang itu kemudian dihamburkan dimana-mana, termasuk di lantai Gedung DPR menjadi Apel Washington dan Apel Malang, meracuni siapa pun yang menggigitnya.

Begitu sulitkah melacak brankas-brankas itu? Mengapa pemilik brankas-brankas itu tidak dimintai pertanggungjawabannya hingga kini? Hal ini diperlukan untuk meletakkan UU Tipikor pada jalur yang sebenarnya, yaitu menjerat Penyelenggara Negara yang melakukan korupsi. Jangan sampai UU yang begitu luhur tujuannya, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya.

*****

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun