Harimau Bali dinyatakan punah pada tahun 1937, disusul kemudian Harimau Jawa pada 1980. Perburuan liar dituduh sebagai penyebab utama kepunahan itu, namun penelitian komprehensif mengenainya tak pernah dilakukan hingga sekarang. Sebagai sebuah kenyataan pahit, hendaknya aparat berwenang mengambil pelajaran darinya, agar tidak terjerumus pada kesalahan kedua, yaitu persoalan pelestarian Harimau Sumatera. Sebagaimana dikatahui tingkat penurunan populasi Harimau Sumatera menukik tajam akhir-akhir ini. Tanpa penanganan bersifat segera di lapangan, maka kepunahan satwa ini tinggal menghitung tahun, tak sampai lagi satu dasawarsa. [caption id="attachment_122734" align="alignleft" width="300" caption="Kulit Harimau yang diawetkan. Memperdagangkan dan memiliki barang seperti ini adalah bertentangan dengan UU. (Google photo stock)"][/caption] Perdebatan panjang mengenainya tak diperlukan lagi. Perdebatan yang sama terbukti tak menghasilkan apa-apa sebagaimana kepunahan harimau di Jawa dan Bali. Terbukti pula, peran serta LSM asing hanyalah memperkeruh keadaan. Yang diperlukan adalah tindakan nyata, partisipasi aktif setiap elemen bangsa terutama yang memiliki akses langsung maupun tak langsung terhadap keberadaan harimau, sehingga tercipta suatu situasi kolektif yang memungkinkan harimau lolos dari lobang jarum kepunahan. Adapun tindakan itu adalah sebagai berikut: 1. Membuktikan kepada masyarakat pedesaan bahwa mereka aman dari serangan harimau. Setiap laporan adanya gangguan harimau, segera ditanggapi oleh aparatur yang berwenang. Keterlambatan menanggapi laporan-laporan akan mendorong masyarakat bertindak sendiri. Dalam hal ini Koramil dan Polsek dapat diberi kewenangan melakukan pengamanan, termasuk melakukan penembakan terhadap harimau yang memasuki lahan tani penduduk. 2. Mendorong penegakan hukum terhadap perdagangan kulit harimau, dan melarang keras penggunaan kulit harimau menjadi hiasan rumah. Khususnya di Jakarta, terdapat beberapa kulit harimau yang diawetkan di rumah tokoh-tokoh penting. Mereka telah memiliki surat ijinnya seolah-olah sebagai harimau eks kebun binatang, tapi aslinya harimau itu berasal dari perburuan illegal di Sumatera. Sita semuanya dan bakar semuanya. 3. Merelokasi beberapa ekor Harimau Sumatera ke Pulau Jawa dan Bali. Khusus point ke tiga di atas, merupakan ide yang sama sekali baru. Sebagaimana diketahui bahwa Jawa dan Bali sejatinya adalah habitat harimau. Di beberapa tempat di Pulau Jawa terdapat hutan yang luas; di sekitar Waduk Jatiluhur, hutan Alas Roban sampai Temanggung serta hutan jati Blora – Cepu. Begitu pula di lereng pegunungan Bali. Apabila di setiap titik di tempat itu dilepaskan sepuluh ekor Harimau Sumatera, ada kemungkinan dalam tiga tahun ke depan seluruh hutan di Pulau Jawa dan Bali telah dikuasai kembali oleh Raja Hutan yang kharismatis ini. Kondisi hutan di Jawa dan Bali yang telah stabil dan telah melewati proses perambahan atau illegal logging, memberi kemungkinan harimau dapat berkembang biak tanpa terganggu aktifitas manusia. Demikian tulisan ini sembari memohon perhatian pembaca terhadap point ke tiga di atas, yang saya anggap merupakan pilihan paling berpeluang. Namun demikian diperlukan sosialisai berkelanjutan serta persetujuan Gubernur dan tokoh-tokoh daerah setempat, mengingat kedatangan tamu lama ini bisa menjadi kegembiraan sekaligus mimpi buruk tersendiri. Jika kita di Kompasiana ini menaruh perhatian mendalam terhadap persoalan ini, dan mengajukan beberapa usul, bukan tidak mungkin para pengambil kebijakan di Jakarta akan menjadikannya bahan pertimbangan. Itupun sudah memadai, sudah dapat disebutkan sebagai berpartisipasi dalam Pelestarian Harimau Sumatera. Salam Harimau: “Aa…a..uu….uummmm…..!” *****
KEMBALI KE ARTIKEL