Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Sepakbola, Racun yang Manis

28 Desember 2010   23:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:16 133 1
Hingar-bingar final AAF disebut-sebut mempertaruhkan harga diri bangsa, setidaknya begitulah kelihatannya. Martabat kedua negara berdampingan dipertaruhkan di kaki sebelas orang pemain sepakbola. Kalau timnya menang tanda negara itu kuat, kalau kalah berarti lumat. Tapi Timnas Indonesia telah menelan kekalahan 0 - 3 pada laga tandang di Bukit Jalil. Itu membuat negara ini seolah-olah berada di bibir malapetaka!

Padahal, tidak!

Sepakbola adalah sepakbola, harga diri bangsa adalah harga diri bangsa. Sepakbola tak ada kaitannya dengan kekuatan riil suatu negara mempertahankan eksistensinya di pergaulan dunia. Brazilia dan Argentina adalah contoh nyata. Meskipun bolak-balik menjuarai laga dunia, martabat Brazilia tetap terpuruk sebagai salah satu negara miskin dan terkorup di dunia. Sedangkan Argentina, betapa pun hebatnya Maradona, kenyataannya negara itu kocar-kacir dihalau Inggris ketika terjadi konflik Malvinas.

Kesimpulannya, sepakbola tak ada kaitannya dengan harga diri bangsa!

Bagi Presiden FIFA, Joseph S. Blatter, sepakbola adalah atraksi permainan. Sebagai adu keterampilan, setiap tim berkemungkinan kalah atau menang, tergantung intensitas latihan yang dilaluinya, dan sedikit faktor keberuntungan pada saat pertandingan dilangsungkan. Kalau menang, silakan bersuka-ria, nikmati hadiahnya. Kalau kalah, pulanglah dengan tangan hampa, silakan berlatih untuk bertanding lagi di lain kesempatan. Dari negara mana pun tim itu berasal, tak ada urusannya!

Bagi kaum pemodal, sepakbola adalah ladang bisnis, tempat mengiklankan produk apa saja. Rugi sedikit tak mengapa, demi keuntungan berlipat ganda di masa depan. Beberapa kompetisi sepakbola di negeri ini dibiayai oleh pabrik rokok.

Bagi pemain dan pengurus, sepakbola adalah pundi-pundi uang. Mereka mendapatkannya dari penjualan karcis dan dari kompensasi iklan. Makin banyak pendukung makin baik, makin fanatik makin boros menyumbang. Pengurus sepakbola senantiasa mengorganisir kelompok ini untuk meneriakkan yel-yel dukungan, sekaligus menguras isi kantongnya. Kalau tak punya uang mereka disebut bonek (bondo nekat) dan mereka ini dihindari karena kerap berbuat onar.

Bagi para pendukung fanatik dan kalangan masyarakat kebanyakan yang gila bola, permainan ini adalah racun yang manis. Lelah memekik-mekik memberi dukungan, mereka pun harus membayar tiket, mengeluarkan tenaga dan mengabaikan nafkah keluarga. Kalau tim yang didukungnya menang mereka larut dalam pesta-pora, saling bersulang minuman sampai pagi. Kalau timnya kalah mereka saling mengutuk, seolah-olah dunia mau kiamat. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali kekompakan yang semu. Sisip sedikit mereka dikejar-kejar polisi karena berpotensi memicu holiganisme!

Akan tetapi, mari kita tunggu dengan harap-harap cemas!

Hasil akhir partai final ini akan segera kita lihat nanti sore. Di Stadion GBK, Jakarta, Timnas Indonesia mesti membalas kekalahan di Bukit Jalil dengan skor setidaknya 4 - 0 untuk dapat merebut tahta juara AAF. Seorang Pengurus PSSI berkata bahwa Timnas Indonesia akan ’berdarah-darah’ demi mempertahankan harga diri bangsa.

Ungkapan itu tentu saja berlebih-lebihan, patut dicurigai sebagai upaya meraih dukungan massa. Apakah Timnas Indonesia atau Timnas Malaysia yang akan memenangkan pertandingan, yang jelas kedua tim dipastikan berkubang lumpur karena Stadion GBK diguyur hujan sejak kemarin. Kostum kedua tim yang selalu baru itu kemudian akan dicuci. Kepunyaan Timnas Indonesia dicuci di Indonesia, kepunyaan Timnas Malaysa dicuci di Malaysia.

Tapi yang mencucinya tetaplah tangan Orang Indonesia.

Soal ’tukang cuci’ itulah sebenar-benarnya yang membawa-bawa harga diri bangsa!

*****

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun