Raambutnya ikal menggulung hanya di bagian ujungnya saja. Sedikit berwarna keemasan bila kita melihatnya di saat matahari sedang mengamuk di angkasa, atau di sini aku hendak menegaskan bahwa rambutnya tak berwarna hitam legam.
Keningnya tinggi dan lebar, agak menggelikan bila saja ia tak memanjangi rambutnya. Bayangkan saja sebuah kepala dari Alien secara gambaran monyet-monyet Hollywood. Sukurlah, rambut indahnya mengombak jatuh di atas pasir keningnya.
Alisnya indah, namun tak seperti semut beriring layaknya kata para laksmana Malaka yang mungkin teramat bosannya melihat ikan pari hingga begitu inginnya mengimpikan tubuh telanjang seorang wanita yang sedang di gelitiki ribuan semut. Ujung dari alis itu menjungkit ke atas, seperti alis Setan? Aku tak pernah tahu bahwa Setan memiliki alis. Lalu dimana indahnya? Di mata yang menempel erat di bawahnya.
Mata yang syahdu, yang terlihat seperti selalu menghiba sekaligus merayu-rayu memanggil apapun untuk datang menatapnya. Dengan bulu mata lentik yang mengintip dari kebeningan di baliknya. Mata inilah yang dulu selalu menatapku dengan lembut saat ia berbuat sebuah kesalahan. Walau saat ia berbalik marah, mata itu tak pernah mengganti kelembutan yang terpancar terang benderang.
Baik, kini aku hendak berbicara tentang hidungnya.
Hidung itu memiliki tulang yang tinggi. Aku selalu senang menatap bentuknya dari samping, hidung itu menjulang angkuh seperti hendak menantang dunia. Ia tak memiliki kedua belah lubang hidung seperti babi. Cukup kecil dan aku kira hanya berfungsi sebagai alat pernapasan saja. Itu sebabnya aku tak pernah bisa membayangkan ia bakal mengorek kotoran dengan jarinya di dalam sana.
Sekarang aku membayangkan sebuah wajah tanpa bibir. Bagaimana jadinya? Lebih mengerikan daripada muka monster aku kira. Karena seburuk-buruknya monster, ia pun pasti memiliki bibir, kalau tidak bagaimana ia bisa menelan manusia? Maka, akan aku jelaskan bibir indah yang tercetak di wajah itu.
Bibir kembar aku menyebutnya. Bibir yang bentuk atas dan bawahnya sama persis. Tidak tebal, dan tidak pula tipis. Sangat manis ketika aku mencicipinya dahulu, seperti Aple Pie bila mengutip kata-kata Shakespierre si manusia sentimentil nomor wahid.
Nah, dari bibir itulah terlontar kata-kata yang masih selalu mengiang di telingaku. Kata-kata yang lembut, kasar, merayu, berbisik, menghiba, berteriak dan segala lainnya. Dari bibir ini pula aku menemui suatu pagi tergelap dalam hidupku.
Bagaimana? Tergambarkah di kepala kalian? Aku harap iya, karena akupun hanya mengira-ngira saja. Aku telah lupa bagaimana bentuk wajahnya yang sesungguhnya.
Teruntuk Seseorang di Berlin, Jerman.
13 September, Tengku Ariy Dipantara.