ia pekat yang melekat di pelupuk mataku, Kekasih.
Di dalam pekat itu, Kekasih..titik rindu menjelma menjadi kunang-kunang.
Seperti ini, kesunyian meradang di padang ilalang.
Aku.
Bukankah pernah ku kisahkan kepadamu?
Bukan. Bukan pada saat rintik hujan turun di batas penghujan dan kemarau.
Bukan pada saat aku duduk tepat di sampingmu seperti orang sekarat.
Namun, pada malam ketika cahaya rembulan meredup,
dan engkau berjalan pelan memunggungiku.
dunia sejenak ingin ku hentikan jika aku mampu.
agar engkau tak cepat berlalu.
Pelan ayunan langkahmu..dan sempat aku memanggilmu.
Kau sama sekali tak menoleh.
Apa karena teriakanku tertahan oleh sang waktu?
Apa karena suaraku tertahan oleh mulut yang membisu?
Aku, pada akhirnya..ya pada akhirnya membiarkanmu berlalu.
Biar langit yang menjagamu dan menjagaku.
Maka, jikalau malamku sesunyi malammu,
aku kumpulkan kata-kata serampangan yang berlalu-lalang.
Ku sulam menjadi indah layaknya puisi rindu.
Engkau, yang mungkin sedang membuka lembaran demi lembar buku bacaanmu,
tengoklah barang sebentar aku dalam lamunanmu..
Maka, apa kau jumpai rindu pada hatimu??
Maka, apa serasa malammu sesunyi malamku??
Oh, Ibu...
Kenapa ada lelaki selain Bapak yang ku rindu.
Bogor, 22 Juni 2014