Siapa yang tidak kenal Paris, salah satu kota yang menjadi pusat mode dunia ini pasti tidak asing lagi di telinga para pembaca. Ibukota Perancis yang terkenal dengan julukan kota paling romantis ini tidak pernah luput dari salah satu destinasi idaman kaum adam maupun hawa. Entah untuk sekedar travelling, menuntut Ilmu layaknya Ikal dan Arai dalam tetralogi laskar pelangi, maupun tujuan bulan madu pasangan suami istri. Jika saya bertanya pada kalian tentang Paris, yang pertama terlintas dipikiran kalian pastilah menara Eiffel, mungkin disusul dengan Gapura Kemenangan (dalam bahasa Perancis disebut “Arc de Triomphe”) dan si Mona Lisa dengan senyuman magisnya. Kali ini saya tidak ingin membahas tentang pesona keindahan dan kemegahan kota tersebut, yang mana bisa kalian cari sendiri di google. Yang ingin saya bahas adalah sisi lain dari kota metropolitan terpadat Eropa, yang mungkin belum kalian ketahui. Kebetulan saya bersama 3 orang teman mendapat kesempatan berlibur di Paris selama beberapa hari pada akhir bulan Maret lalu.
1.Paris Pinggiran Pertama kali kami sampai di Paris (berangkat dari kota Aachen, Jerman dengan menumpang), saya cukup terkejut dengan suasana kota tersebut. Luapan emosi kekaguman yang saya harapkan saat menginjak kota Paris pertama kali, tidak saya dapatkan. Saya merasa kembali ke Asia. Bagaimana tidak, banyaknya jumlah motor yang meliuk-liuk menerobos kemacetan, suara klakson penanda ketidaksabaran dan pengendara yang tidak mau mengalah sangat meyerupai suasana di Asia. Infrastruktur juga tidak begitu rapi dan tak tertata. Tidak seperti di pusat kota, pinggiran kota Paris bisa terbilang kotor apalagi kala itu sesaat setelah hujan lebat. Jalanan becek dan sampah berserakan dimana-mana.
2.Walking like a Parisian Mungkin jika pembaca pernah membaca artikel atau melihat video di youtube tentang “How to be a Parisian” pasti kalian mengetahui apa yang membuat Parisian itu berbeda dengan orang Eropa pada umumnya. Ya perjalanan kami kali ini ingin membuktikan sebagian dari rumor tersebut. Awalnya saya pikir, sebagai turis mungkin agak sulit untuk mengamatinya, nyatanya tidak. Parisian yang cenderung memiliki jam karet seperti orang Indonesia (tidak on-time) sepertinya merasa selalu terlambat. Bagaimana tidak, dalam berjalan seolah-olah ada saja yang mereka kejar. Tidak santai, buru-buru, dan kurang peduli lingkungan sekitar. Padahal frekuensi subway-nya cukup tinggi. Tidak hanya di jam-jam sibuk tapi juga saat tengah malam di hari kerja. Satu contoh kecil yang kami temui adalah ketika keluar dari subway ada seorang ibu-ibu yang meminta bantuan untuk mengangkat kereta bayinya. Mungkin sudah ratusan orang lewat begitu saja tanpa menganggap keberadaan ibu tersebut. Hingga akhirnya kami datang, dan ikut-ikutan lewat begitu saja, eh membantu ibu tersebut.
3.Tata Krama Menyebrang Ketika lampu penyebrangan jalan sedang hijau, tentu saja kita harus menyebrang (dengan langkah panjang dan cepat seperti Parisian pastinya). Tapi bagaimana bila lampu sedang merah? Tengok kiri kanan, jika situasi cukup aman, menyebranglah layaknya kalian tidak melakukan kesalahan apa-apa. Itulah yang kami amati dari cara menyeberang para Parisian. Pada hari pertama kami masih ragu-ragu untuk melakukannya, di hari kedua jiwa Parisian sudah tertanam dalam diri kami. Namun jika tidak ada lampu penyebrangan, sebaiknya kalian hati-hati, karena mobil dan skuter dengan kecepatan tinggi siap menyambar kapan saja. Sebagai tambahan, hati-hati berjalan di trotoar. Di kota tersebut ada juga pengendara motor yang mengambil jalur pejalan kaki.
KEMBALI KE ARTIKEL