Agaknya tekad pemerintah dan penegak hukum untuk serius menangani kejahatan korupsi sehingga tidak ada pembiaran dan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi, mulai terwujud.
Namun laporan Transparency International Indonesia (TII) tahun 2012 masih memasukkan Indonesia masih sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, berdasarkan buruknya indeks persepsi korupsi (IPK) nya. Di kawasan Asia Tenggara, posisi IPK Indonesia masih berada di jajaran bawah. Masih kalah dibandingkan negara-negara seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Secara akademis penelitian itu masih bisa diperdebatkan karena yang diukur adalah variabel persepsi bukan korupsinya itu sendiri. Mengukur persepsi atau anggapan tidak bisa digunakan untuk memperlihatkan fakta lapangan korupsi di Indonesia.
Upaya pemberantasan korupsi selain kepada aspek penindakan, juga harus juga mengarah kepada aspek pencegahan.
Upaya luar biasa yang dilakukan KPK ataupun lembaga penegak hukum lain dalam hal penindakan layak diapresiasi. Fakta seorang pejabat publik sekelas menteri dibidik menjadi tersangka jelas sebuah prestasi tersendiri untuk KPK.
Namun, aspek pencegahan jelas tidak boleh disepelekan dan dinomorduakan. Meski perangkat pencegahan itu sudah ada seperti Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang merupakan kelanjutan dari Inpres No 9/2011. Namun masih perlu langkah revolusioner yang bersifat dini dan membudaya.
Sebuah terobosan telah dibuat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan BKKBN yang memfokuskan kerja sama yang berfokus pada pemberantasan korupsi berbasis keluarga. Tujuannya jika korupsi sudah bisa dicegah dari dalam keluarga, maka masyarakat kita tidak akan berperilaku korup.
Korupsi adalah kejahatan yang terus ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Pencegahan dengan pendekatan sosial budaya dan penanaman nilai sejak dini dalam keluarga mungkin akan menghentikan catatan kelam korupsi di Indonesia. Semoga.