Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Meramu Jitu Nafsu Ekspansi Dan Teknologi

31 Oktober 2009   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 891 0
Golden Agri Resources (GAR) Ltd, divisi agribisnis Grup Sinar Mas sukses menjadi grup bisnis perkebunan kelapa sawit terkemuka yang terintegrasi dengan luas lahan 352 ribu hektare lebih dan menjadi sandaran nafkah bagi 600 ribu orang. Rencana strategis pun telah disiapkan. Ekspansi besar-besaran dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan digelar. Golden berencana menambah lahan baru kebun sawit 948 ribu hektare (ha) senilai Rp 23,7 triliun dalam beberapa tahun mendatang. Langkah itu bakal menempatkannya Group Sinar Mas sebagai perusahaan perkebunan sawit terpadu terbesar di dunia. Perusahaan kini memiliki lebih dari 30 kilang pengolahan minyak sawit mentah (CPO), sejumlah kilang pengelohan minyak goreng, dan kilang kernel crushing. Ekspansi kebun sawit akan dilakukan melalui sejumlah anak usaha di Indonesia, seperti PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Corporation Tbk. Hingga 15 November 2007, Golden Agri menguasai 92,7% saham SMART lewat anak usahanya, PT Purimas Sasmita. SMART kini menguasai 123.400 ha kebun sawit. Jika biaya investasi kebun sawit diasumsikan Rp 25 juta per ha, Golden diperkirakan menginvestasikan Rp 23,7 triliun untuk tambahan lahan baru 948 ribu ha. Nantinya, Golden bakal menguasai kebun sawit 1,3 juta ha, dari kepemilikan saat ini 352.000 ha. Penambahan lahan sawit akan dilakukan bertahap dengan cara membuka lahan baru dan mengakuisisi kebun sawit di Sumatera, Papua, dan Kalimantan. Pendanaannya bersumber dari kas internal dan pinjaman bank. Postur GAR dalam kacamata awam memang mengagumkan, sebuah ambisi besar menjadi penguasa kelapa sawit di Indonesia tergambar di sana. Hal itu memang tampak wajar jika melihat visi dan misi yang menjadi haluan GAR. Korporat ini berbekal visi menjadi perusahaan kelapa sawit yang terbaik, terbesar, dengan paling menguntungkan berbasis konsumen. Visi itu diterjemahkan dalam misi; Melampui batas standar kualitas dan mempertahankannya, Mempersembahkan nilai maksimum untuk Pemegang Sahamnya, Berdharma bakti kepada Masyarakat dan Menjadi pusat tren, inovasi dan teknologi. Dan untuk mewujudkan mimpi yang tak mustahil ini diperlukan  langkah menyiasati situasi rumah tangga di dalam perusahaan dan dinamika perkembangan lingkungan luar. Analisis internal dan eksternal tersebut memang mutlak diperlukan. Kekuatan Internal GAR memiliki sejumlah kekuatan yang mendukung setiap usaha untuk maju. Ditengah sengitnya persaingan bisnis kelapa sawit, GAR bersandar pada pilar-pilar kekuatan resources yang melimpah. Human capital dipasok dengan ketersediaan tim yang mumpuni dan berpengalaman. Intangible resources dengan dimilikinya brand seperti Filma dan Kunci Mas semakin meneguhkan supremasi GAR. Kekuatan internal ini semakin lengkap dengan kapabilitas menjalankan operasional perusahaan secara terintegrasi dalam garis vertical dengan efisiensi yang ketat. Belum lagi kejelian dan ketajaman dalam kapabilitas dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan mengandalkan sistem informasi SAP dan Google Earth. Ini adalah core competance yang tidak dapat diplagiat oleh pesaing-pesaingnya sebab GAR mengembangkan secara mandiri. Disamping itu dukungan kepemilikan penelitian dan pengembangan melalui SMART Research Institute yang mampu mampu menyediakan bibit sawit unggul menjadikan GAR tampak beda. Namun dibalik itu semua ada faktor kunci yang menjadikan  GAR semakin memanyar dalam pertumbuhannya.  Satu kata kunci yang mampu mengorganisasi semua sumber daya mampu mendulang keuntungan,  Kepemimpinan. Franky Oesman Widjaja, CEO & Chairman Golden Agri Resources Ltd era sebelumnya. Berkontribusi besar melakukan revolusi terhadap usaha yang dirintis ayahnya, Eka Tjipta Widjaja. Anak bungsu taipan Eka Tjipta Widjaja itu tidak saja mampu memimpin GAR di urutan terdepan perusahaan perkebunan kelapa sawit terintegrasi di Indonesia, tapi juga menjadi ambassador keluarga besarnya yang menghubungkan mereka dengan pihak luar, terutama stakeholders dan regulator. Modal sosial terbentuk disini, kekuatan individu yang melahirkan jaring-jaring bisnis. Jadi memang layak diakui, setelah 10 tahun krismon berlalu, GAR dalam naungan Sinar Mas termasuk salah satu konglomerasi yang tetap eksis, bahkan terus bersinar. Faktor Eksternal Minat GAR terhadap kelapa sawit, terutama keinginan untuk melakukan ekpansi tidak lepas dari trend global. Betapa tidak, setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune beberapa tahun lalu menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Meski pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Ini adalah sinyal tak langsung tentang akan adanya revolusi bahan bakar dari bahan bakar fosil menuju bahan bakar ramah lingkungan. Biofuel. Di Indonesia, kemudian keluar Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai digulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya meski lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007). Akhirnya muncullah kesediaan setiap daerah di Indonesia menyatakan kesanggupannya menyediakan lahan hingga jutaan hektar. Peluang ini segera ditangkap baik oleh GAR, yang dalam bahasa dagang mampu melakukan scanning the periphery. Namun GAR tidak tegak sendiri, dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat delapan perusahaan lainnya yang juga dapat disebut sebagai pesaing utama yaitu PT Salim Plantation, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, Hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumatera Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kedelapan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007) Bangun Rancang Siasat Visi GAR jelas menyatakan keinginan menjadi yang terbesar, jika sekarang yang berkuasa adalah Salim Plantation, maka kondisi ini harus dirombak. Ada alasan kuat untuk ke arah itu, industri minyak sawit (CPO) berikut produk turunannya menjanjikan keuntungan bisnis paling tidak untuk 30 tahun mendatang, sebab harga CPO di pasar dunia cenderung naik terus. Protokol Tokyo dan Perpres No. 5/2006 mengisyaratkan potensi pengembangan CPO sebagai bahan baku biodiesel akan menggantikan bahan bakar fosil dari minyak bumi, batubara dan gas alam. Apalagi, lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat luas. Infrastruktur Kemandirian adalah adalah kunci kemenangan. Untuk bisa mengembangkan industri minyak sawit dan produk turunannya mutlak dibangun kilang CPO berkapasitas besar yang mampu menampung hasil panen sawit dari keseluruhan lahan pasca ekspansi. Kilang CPO akan ada di tiap lahan di masing-masing pulau untuk mempercepat pengolahan produk. Tidak ketinggalan pabrik biodiesel berkapasitas paling kurang 400 ribu ton per tahun juga harus dibangun. Tentu menjalin kerjasama dengan pelaku bisnis serupa tidak menjadi kaidah haram,  Fulcrum Biofuels LCC dapat digaet untuk bisa mewujudkan ambisi besar ini. Selain itu, di luar bisnis utama CPO, pembangunan fasilitas pengolah produk turunan juga perlu dikembangkan. Pabrik biodiesel perlu dikebut guna memanfaatkan momentum bagus harga CPO saat ini. Dengan melonjaknya harga minyak, negara-negara industri maju berencana memperbesar konsumsi bahan bakar alternatif, khususnya biodiesel dari minyak sawit. Pemerintah AS kini menyediakan fasilitas fiskal untuk impor produk biodiesel. Selain di dalam negeri, mengembangkan industri bahan bakar nabati di luar negeri juga perlu dirambah. Hong Kong Energy Ltd dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) adalah partner yang tampaknya mau diajak bekerja sama. Lalu bagaimana membendung serangan para pesaing seperti Wilmar International Ltd. yang juga gencar berinvestasi di Indonesia. Bahkan Wimar juga merangkul Rimcapital Holdings Sendirian Bhd dari Malaysia dan Josovina Commodities Pte Ltd untuk mengembangkan 40 ribu ha kebun sawit di Kalimantan. Kabarnya nilai investasinya sekitar Rp 1,53 triliun. Teknologi Informasi Besarnya nafsu ekspansi para pesaing sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Jikalaupun mereka berhasil menguasai seluruh lahan sawit, itu bukan penentu kemenangan. Semakin besar lahan yang harus di urus, biasanya tanpa manajemen jitu perusahaan itu akan kedodoran. Dan hal ini bisa jadi bumerang mereka yang menguntungkan GAR. Saat para pesaingnya kewalahan mengurus lahan-lahannya , tawaran akuisisi menjadi jurus telak untuk menjadi penguasa tunggal. GAR telah meramu solusi jitu agar tidak terjebak dalam kondisi ini. Memang diakui banyak persoalan pelik yang dihadapi mengurus bisnis perkebunan. Hal tersulit adalah mengelola perkebunan luas dan tersebar di berbagai wilayah. Informasi terkini sulit didapat, sehingga pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Kesadaran teknologi informasi merupakan hal yang sangat penting untuk membantu manajemen dalam mengelola usaha dan mengambil keputusan secara cepat dan akurat. Mengaplikasikan TI ke dalam operasional perkebunan, yaitu menggunakan SAP yang terintegrasi dengan Geographical Information System dan Google Earth adalah jawabannya. Seluruh perkebunan akan dibagi menjadi blok-blok berukuran 30 hektare. Setiap hari kinerja masing-masing blok dikirim melalui satelit ke kantor pusat, sehingga setiap masalah yang timbul dapat diketahui dengan rinci dan cepat. Memang penerapan sistem ini memerlukan proses yang cukup lama dan sulit, karena perlu mengubah budaya karyawan agar terbiasa dengan teknologi dan menyadari manfaatnya. Tapi yang perlu diingat adalah bagaimana menggunakan sistem. Tidak perlu mengetahui cara pembuatan sistemnya. (*) [data dari berbagai sumber]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun