Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Wartawan dan Amplop Lintas Jaman

9 Januari 2019   18:07 Diperbarui: 11 Januari 2019   09:06 405 3
Romantisme di ruang gelap sejarah pers itu dicermati tanpa rikuh oleh tim produksi film Ca-bau-kan (2002) -- diangkat dari novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa karya wartawan seniman Remy Silado.

Lebih tegas, wartawan Rosihan Anwar semasa hidup berani menyatakan amplop tidak diharamkan, selain karena wartawan menurut dia memang bukanlah malaikat.

Dalam buku Profil Wartawan Indonesia" (1977), Rosihan Anwar menyebut, amplop untuk wartawan dimulai di zaman Orde Lama. Ketika itu seorang pengusaha Teuku Markam asal Aceh iba melihat kehidupan wartawan yang tampak susah. Dia pun memberi transport kepada wartawan yang datang mewawancarainya. Sejak itu ada istilah "transport wartawan".

Saat ini hampir semua instansi pemerintah menyediakan khusus "transport wartawan".

Sayangnya pada lini kehidupan pers yang, jika meminjam kredo meme pasangan capres "Nurhadi-Aldo", kondisinya sudah tronjal-tronjol tetapi wartawan masih 'sok asik'. Wagu bin ambigu. Lebih konyol lagi, relatif munafik ketika membahas amplop.

Padahal tidak ada satupun pasal di UU Pers melarang setiap wartawan menerima amplop serta sanksinya. Yang ada adalah "imbauan", agar wartawan sebaiknya menolak suap.

Tiba-tiba saya membayangkan, ketika pers Indonesia lahir di tengah kecamuk perang kemerdekaan. Para pemuda saat itu mendirikan Kantor Berita ANTARA pada 13 Desember 1937.

Mereka antaranya Soemanang (29), AM Sipahoentar (23), Adam Malik (20), dan Pandu Kartawiguna, yang usianya tidak tercatat di contekan digital saya; mesin pencari Google.

Setahun kemudian, Adam Malik berusia 21 tahun ketika dia diminta mengambil alih pimpinan ANTARA. Dia menjadi orang penting yang memberitakan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tamggal 17 Agustus 1945.
 
***

Omong-omong soal amplop, yang masih dianggap tabu dan abu-abu, The History of Envelopes karya Maynard H Benjamin menukil amplop yang sudah digunakan bangsa Babilonia sejak 2000 tahun sebelum masehi.

Di masa itu mereka sudah kenal tulisan dan dokumen administrasi pemerintahan. Tapi amplop belum dipakai untuk surat-menyurat, melainkan tempat menyimpan catatan dan dokumen.

Amplop kala itu berwujud kotak dari tanah liat, sehingga tidak bisa dilipat seperti amplop kertas sekarang.

Amplop kertas mulai dikenal sekitar tahun 1775 ketika dunia pos di Eropa dan Amerika menggunakan kertas untuk membungkus surat yang dikirim warga. Biaya pengamplopan sudah termasuk ongkos kirim surat. Amplop model ini digunakan hingga sekitar tahun 1839.

Tahun 1840, Ratu Victoria menggagas reformasi dunia pos. Gerakan itu dipimpin oleh Rowland Hill. Dari sinilah cerita tentang amplop modern dimulai. Bahkan tahun itu pula pemerintah Inggris mengadakan kontes pembuatan amplop surat.

Dewan penilai kontes memilih amplop karya anggota Royal Academy, William Mulready. Dia berhak dapat hadiah 200 poundsterling.

Amplop kreasi William berbentuk seperti sekarang, mempertemukan empat ujung kertas persegi empat. Kemudian di bagian penutupnya dilengkapi perekat, dan bagian luar amplop dihias ornamen cantik.

Amplop ini dikembangkan oleh warga keturunan Skotlandia yang hijrah ke Amerika, James Logan. Dia berperan mengembangkan industri amplop William. Tahun 1878, dia perluas jaringan produksi amplop ketika bekerja di perusahaan milik G Henry Whitcomb.

Dari bisnis amplop, James membangun usaha dibantu rekannya George H Lowe di Boston, Desember 1882. Perusahaan Logan and Lowe Envelope Company menggunakan mesin buatan Berlin and Jones untuk membuat amplop.

Dari sini industri amplop menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, lalu masuk ke kantong wartawan.

Demikian sejarah bertutur sisi ekonomi amplop. Mengingat hal tersebut, sangat mungkin dilakukan "bedah amplop' dari sudut kacamata filsafat, seni dan budaya, etika dan moral, kemanusiaan, politik, kesehatan, psikologi dan lainnya.

***

Cerita amplop kita pindah ke perseteruan antara Tan Peng Liang dan Dewan Kong Koan dalam kisah Ca-bau-kan. di mana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie (Irgy A Fahrenzi) menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang.

Kisah ini kemudian mengungkap Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan tersebut. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang.

Rencana itu berhasil digagalkan Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap. Namun, karena emosi Tan Peng Liang menyuruh Tan Soen Bie membunuh orang suruhan itu dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.

Kasus pembakaran itu diselidiki polisi Hindia Belanda serta pers. Saat itulah Tan Peng Liang menyogok wartawan dengan angpao berisi uang suapan demi menjebak Thio Boen Hiap.

Dalam gelar perkara persidangan, Thio Boen Hiap divonis bersalah, tapi situasinya berbalik menyerang Tan Peng Liang (Ferry Salim) setelah wartawan bernama Max Awuy (Ananda George) bersama Tjia Wan Sen (Billy Glenn) mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang.

Dalam kisah ini, Tan Peng Liang kawin dengan Tinung (Lola Amaria) wanita pribumi yang statusnya tersebut dikenal sebagai cabaukan.

Tan Peng Liang ditangkap dan dipenjara di Cipinang. Di penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang juga ikut berjuang merebut kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo (Alex Komang), sepupunya yang adalah orang Jawa pribumi.

Ca-bau-kan menyajikan budaya Tionghoa peranakan di Hindia Belanda dan Indonesia berlatar zaman kolonial Belanda tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca-kemerdekaan tahun 1960.

***

Jika keutamaan (previlage), kemudahan, dan kesenangan adalah "amplop", maka seringkali saya dan juga banyak wartawan menerima.
 
Kemudahan itu antaranya bikin Surat Izin Mengemudi (SIM), menonton film di bioskop, sesekali gratis naik pesawat terbang, menginap di hotel berbintang, makan di restoran atau kafe tertentu dan lain-lain.  

Semua fasilitas kemudahan yang tidak lazim itu bisa saja risiko dari profesi dan tugas 'mulia' wartawan. Tak perlu heran jika banyak petualang berkedok wartawan. Enak, sih!

Dengan hanya mengaku wartawan apalagi senior, akan mudah menekuk para birokrat koruptif, pengusaha curang, politisi gelap dan lainnya untuk dimanfaatkan. Parasit ini subur tanpa bisa dihentikan.

Teman wartawan di Polda Metro Jaya menyebutkan di markas polisi negara itu jumlah wartawannya ratusan orang, dan semua mendapat 'jatah' operasional secara rutin. Apakah semua itu semacam ejawantah dari panji "Polisi mengayomi rakyat"? Saya meragukannya.

Jika amplop diibaratkan candu, di dunia pers sudah terjadi ekosistem "satu paket" dengan adanya bandar, pengedar, dan pemakai. Pada situasi tertentu, pemakai ini bisa juga dianggap korban.

Di lingkup wartawan hiburan, musik dan film sistem itu sudah baku. Siapa saja bandar besar, pengedar dan pemakai, berapa isinya dan korban amplop, semua tahu sama tahu. Kedip-kedipin mata.

Atas nama profesi, wartawan melacur di luar kantor menciptakan jaringan mafia bisnis. Biasanya jaringan ini bikin kegiatan promosi dalam bentuk jumpa pers.

Ada pembagian tugas di dalamnya. Siapa wartawan yang tugasnya mencari klien, jadi moderator, dan operator di lapangan. Pola tersebut sustainable.

Jika segala hal menyenangkan disebut amplop, setiap hari saya dapatkan. Hidup tanpa amplop (bahagia) sangatlah merana.

Jika hadiah dari narasumber, kenalan, mantan teman yang sukses jadi pengusaha ataupun pejabat disebut amplop sehingga dikhawatirkan merusak kualitas berita, saya sering menerimanya. Ikut senang punya teman sukses.

Jika dikirimi email berisi berita lengkap disebut amplop, saya sering menerima itu. Berita sekilas untuk stopper dari rilis, dan sejenisnya adalah bentuk relationship dengan si pengirim.

Jika berkunjung ke daerah di seluruh Indonesia mendapatkan tiket kereta, pesawat dan juga cinderamata adalah amplop, tak terhitung berapa kali saya mendapatkan apresiasi dari kementerian dan orang-orang yang terkait dengan dunia pariwisata.

Jika ditawari pergi ke negeri seberang adalah amplop, saya tidak pernah menolak kesempatan itu.

H Harmoko, wartawan yang dua periode jadi Menteri Penerangan era Soeharto menulis catatan di buku Djamaludin Malik Melekat Di Hati Banyak Orang (2006) karya Ramadhan KH dan Nina Pane.

Di tahun 1960an ketika menjadi wartawan muda, seringkali Harmoko naik becak berdua dengan pelopor industri film yang merupakan ayah artis Camelia Malik.

Pak Djamal menurut Harmoko pandai mengorek dan berkomunikasi dengan tukang becak sehingga tukang becak pun tidak merasa lelah.

Tapi karena sudah berputar-putar keliling penjuru, mengayuh pedal antara Senen, Menteng, Manggarai, tukang becak betul-betul lelah.

Pak Djamal tahu gelagat, becak disuruh berhenti. Tukang becak ditraktir makan sekenyangnya di warung. Becak jalan lagi menuju Jl Prapatan Menteng Raya, karena sudah pukul 3 malam.

Apakah semua jalinan kisah romansa itu terindikasi amplop atau bersih? Entahlah. Hidup terus berlanjut. Wartawan, redaktur, pimpinan redaksi dan lembaga pers sudah terpapar amplop. Lalu semuanya diam. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun