Dari pinggiran sebuah kampung di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mentari kelihatan telah menyingsing di ufuk barat.Hari telah sore namun seorang bapak berusia lima puluhan tahunmasih sibuk berkutat dengan kotoran sapi di kandangnya. Pak Sayudi namanya.
Tiap kali bongkahan kotoran sapi itu dibelah, hawa panas segera mengepul di dalam kandang. Baunya cukup menyengat hingga beberapa meter jauhnya dari kandang itu. Pak Sayudi telah terbiasa dengan aromaitu, indra penciumannya seakan sudah begitu kebal. Kotoran sapi itu dikumpulkan dalam satu lubang yang cukup besar. Kelak kotoran-kotoran itu akan digunakan untuk memupuk tanaman-tanaman di ladangnya.
Di rumah, istri Pak Sayudi tengah sibuk memasak untuk berbuka nanti. Istrinya menggunakan gas elpiji berukuran tiga kilogram sebagai bahan bakarnya. Gas elpiji itu akan habis hanya dalam waktu seminggu saja. Sekali melakukan pengisian, ia harus mengeluarkan uang sebesar lima belas ribu rupiah.
Selain Pak sayudi, di kampung tak jauh dari jalur pantura itu juga ada banyak petani lain yang juga memelihara sapi. Di Kabupaten Batang, masyarakat memang mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Dari jumlah petani yang ada, sebagian besar dari mereka juga memelihara hewan ternak. Entah sapi, kambing, atau unggas.
Jumlah sapi yang dimiliki petani berkisar antara dua hingga lima ekor. Sebagaimana istri Pak Sayudi, sebagian besar dari petani menggunakan elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Beberapa yang lain juga menggunakan kayu bakar atau kombinasi keduanya.
Pak Sayudi nampaknya belum cukup mengetahui mengenai potensi energi biogas dari kotoran sapi yang ia pelihara. Ia tak memahami bahwa kotoran-kotoran yang dihasilkan dari sapi-sapi itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak. Akibatnya, kotoran-kotoran yang ada lebih banyak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang semata, didiamkan dalam waktu yang lama hingga mengering agar ringan untuk dipindahkan ke sawah atau ladang.
“Saya tak tahu banyak tentang biogas. Kalau sekadar mendengar sih pernah. Cuma gak tahu cara masangnya bagaimana”, begitu ujarnya.
****
Ilustrasi di atas mungkin dapat mewakili sebagian besar petani di Indonesia yang belum begitu mengenal biogas. Pamor biogas sebagai sumber energi memang belum cukup menggema di kalangan masyarakat awam.
Sebagai negara agraris, penduduk Indonesia begitu banyak yang bertani. Jumlahnya ada puluhan juta. Sebagian dari mereka tak hanya mengandalkan tanah-tanah mereka sebagai sumber penghasilan. Sembari bertani, mereka juga beternak sapi, kambing, unggas, atau ikan.
Ibarat bisnis, ternak-ternak itu adalah usaha sampingan yang digunakan sebagai sumber pendapatan di kala panen tak memberikan hasil yang diinginkan. Ternak digunakan sebagai pendapatan ekstra untuk menutupi berbagai macam keperluan seperti saat hajatan. Beberapa yang lain bahkan digunakan untuk biaya berangkat ke tanah suci.
Beberapa sapi digunakan untuk membajak sawah-sawah petani. Kotorannya banyak digunakan sebagai pupuk. Sapi itu baru akan dijual kala petani-petani itu benar-benar membutuhkan uang.Sementara ternak seperti unggas sering dikonsumsi sendiri. Namun, mereka yang mengerti bahwa kotoranyang dihasilkan oleh ternak-ternak itu bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk mengapikan dapurmasih sangat sedikit.
Pak Sayudi adalah contohnya. Ia belum cukup tahu bahwa manfaat biogas sebagai sumber energi sungguh luar biasa besar. Mungkin pengetahuannya belum cukup menjangkau kesana. Mungkin belum ada orang yang menjelaskan itu kepadanya.
Selain hemat, biogas juga menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Biogas tak akan habis selama ada kotoran dari hewan-hewan ternak sehingga kelak dapat menjadi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Tak ada polutan berbahaya semacam timbal atau gas buangan berbahaya lainnya dihasilkan dari bahan bakar ini.Sisa kotoran yang sudah digunakan bahkan masih bisa dimanfaatkan untuk memupuk tanaman.
Di negara seperti China dan India, biogas telah dimanfaatkan sebagai energi alternatif ramah lingkungan oleh para petani setempat. Bahkandi peternakan-peternakan besar, biogas juga digunakan untuk sumber energi listrik yang digunakan sebagai penerang. Disana, pemanfaatan kotoran ternak ibarat siklus. Kotoran-kotoran itu dijadikan sebagai sumber biogas, sementara ampas lanjutannya akan digunakan sebagai pupuk untuk menyuburkan tanaman-tanaman pakan ternak.
Di Indonesia, sebagian besar petani masih belum mandiri. Faktor minimnya pengetahuan kemungkinan besar menjadi penyebabnya. Pertanian masih dilakukan secara konvensional. Peralatan modern belum sepenuhnya diterapkan. Pemanfaatan teknologi belum banyak dilakukan.
Tapi, pengembangan biogas itu bukannya tidak diupayakan oleh pemerintah. Hanya saja kesannya memang masih belum cukup optimal. Buktinya, petani Indonesia tak banyak yang memiliki reaktor biogas sendiri. Mungkin pemerintah tak bisa bergerak sendiri, membutuhkan peran lebih besar dari swasta atau organisasi nonpemerintah lainnya. Namun dengan melihat potensi yang ada, rasanya bukan mustahil jika kelak biogas akan menjadi salah satu energi alternatif yang utama di Indonesia.
Andai saja orang-orang seperti Pak Sayudi itu mau memanfaatkan biogas dari kotoran sapi yang dipeliharanya, mungkin saja beban hidupnya akan sedikit terkurangi. Paling tidak ketergantungannya terhadap gas elpiji dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Tak terbayangkan jika semua petani di Indonesia sudah memiliki reaktor biogas sendiri, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mandiri energi. Bertani pun tak lagi menjadi profesi yang dipandang sebelah mata.
Tapi, memang dibutuhkan kerja keras untuk dapat memanfaatkan semua potensi yang ada itu. Yang perlu dilakukan adalah mencerdaskan petani, mengenalkan biogas kepada mereka, serta membangun keyakinan bahwa biogas itu sungguh besar manfaatnya sehingga mereka mau mendayagunakannya. Tantangan yang tak mudah tapi bukan sesuatu yang tak mungkin.
Satu lagi sumber energi yang begitu erat kaitannya dengan dunia pertanian adalah energi hijau. Energi hijau adalah sebutan bagi sumber energi hijau yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.