Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Seorang Penjual dan Konsultan

15 Desember 2010   01:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 246 0
TUKANG KOMPOR....

Hari sabtu 11 Desember 2010 jam 12.01 saya baru saja tiba dari kantor GRAPARI untuk bayar tagihan telkomflash dan mampir ke pasar sebentar untuk berbelanja bahan masakan sore.

Selesai memarkir sepeda motor, saya melongok ke dalam rumah. rupa-rupanya ada tamu sedang mengoceh di dapur bersama seorang kawan saya. Sayup-sayup terdengar topik pembicaraannya seputar kompor gas..

"Hhhmmm mungkin tukang servis atau sales kompor gas sedang memberikan kuliah perkomporan", pikir saya. Ternyata benar adanya, namun saya tak langsung melibatkan diri karena sejurus kemudian ada dua tamu datang ke rumah. Selagi sibuk mengurusi tamu, teman saya muncul dari belakang kemudian meminta kepada saya untuk berbincang sebentar.

Dia bercerita tentang apa yang mereka bincangkan selama di dapur. Saya sudah terpikir sebelumnya bahwa pasti si sales ini menawarkan produk, dan ternyata memang demikian. Pendek cerita teman saya bertanya apakah saya bersedia mengganti selang dan regulator dengan harga Rp. 350.000,-...Saya diam sejenak. Sebelum mengeluarkan kata-kata, teman saya berkata,"Ini produk SNI dari Pertamina jadi memang sudah terstandar." Saya manggut-manggut, sejurus kemudian saya mengatakan,"Klo ditunda dulu alias ga dibeli sekarang bagaimana? Tanyakan saja no HP atau kantor yang bisa dihubungi. Senin atau selasa kita hubungi lagi."

Kemudian teman saya kembali ke dapur dan saya meneruskan bertemu dengan kedua tamu saya. 2 menit kemudian saya minta waktu kepada kedua orang tamu saya untuk ke dapur. Saya penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh teman saya dengan si sales ini. Sesampainya di dapur saya duduk di tangga dekat pintu persis di belakang teman saya yang sedang berhadapan dengan si sales ini. Ternyata mereka berdua, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Yang mengoceh sejak tadi adalah si laki-laki, sedangkan si perempuan hanya duduk manis di dekatnya. Setelah mendengarkan sedikit pemaparannya, si sales ini bertanya kepada saya,"Bagaimana mas jadi beli atau tidak. Setidaknya selangnya aja dulu. Selang punya sampeyan sudah pecah-pecah karetnya. Harganya murah kok mas, cuma seratus ribu." Kemudian saya menjawab,"Sepertinya ditunda dulu mas, bagaimana bila saya hubungi lagi hari senin atau selasa? Soale ini menyangkut urusan duit juga."

Dia kemudian berkata,"Seratus ribu itu lo murah mas, apalagi ini tanggal muda." (sambil cengengesan)..."Waduh mas, tua dan muda itu orangnya. Tanggalannya tetap sama dari dulu mpe sekarang", balasku...

"Sepertinya ditunda dulu, ga bisa sekarang. InsyaAllah senin atau selasa deh klo kita uda siap duitnya sampeyan dihubungi", tambahku...Dia sepertinya kecewa, raut mukanya agak ditekuk dikit sambil berkata,"Saya memang bisa mas sewaktu-waktu tapi belum tentu ada barangnya." Aku menangkap bahwa komentar si sales ini seperti sedang ngambek karena setelah mengoceh lebih dari 50 menit tidak berhasil menjual satupun dari barang dagangannya. Sambil masih merengut, dia meminta brosur ke teman perempuannya kemudian menuliskan no HPnya dan kemudian pamit pergi. sebagai tuan rumah yang baik saya antarkan hingga pintu depan dan saya ucapkan terima kasih.

Saya sempat terlibat diskusi singkat setelahnya dengan kawan saya, namun sebelum itu saya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi tentang bagaimana saya menjual....

Tahun 2006 di sebuah kota berjarak 200 -an KM dari Malang

Seingat saya itu terjadi di awal tahun. Saya berangkat dari kota Malang seorang diri mengendari motor dengan sebuah semangat baru. 4 bulan setelah ibunda saya meninggal dunia saya banyak menghabiskan waktu di jalanan dari satu kota ke kota lain baik seorang diri atau berdua dengan seorang rekan. Masuk-keluar dari satu sekolah ke sekolah lain untuk menawarkan program asesmen psikologi berkelanjutan. Membawa tas berisi sedikit perlengkapan pribadi dan dijejali dengan berbagai macam kertas (proposal, surat, contoh-contoh laporan dsb). tidak mudah tapi menantang dan mengasyikkan....

Hari itu adalah hari pertama saya di kota tersebut. saya menuju ke satu SMA Negeri yang konon kabarnya adalah sekolah bertaraf Internasional...Seperti biasa setelah memarkir motor, lapor satpam dan bertanya dimana letak kantor BK saya langsung bergegas menuju kantor BK. Setelah memberi salam saya bertemu dengan seorang bapak guru, beliau mempersilahkan saya masuk dan bertanya perihal keperluan saya dan saya pun menceritakannya. Setelah sejenak mendengar kemudian beliau keluar sejenak mencari koordinatornya yang pada saat itu sedang bercokol di ruang guru. Tak lama kemudian mereka berdua datang. Kali ini saya bercerita tentang keperluan saya kepada bu guru yang rada nyentrik ini (rambut dicat pirang agak merah) sambil membuka surat dan proposal beserta berkas-berkas lainnya untuk disajikan....

Selesai saya bercerita ibu guru tersebut setengah melempar proposal yang saya bawa ke hadapan saya sambil berkata,"Kita ga butuh ini mas. Sudah berkali-kali kita coba lembaga yang berbeda tapi sama saja. Bahkan tahun lalu hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, ga valid. Bawa saja proposal anda dan tidak perlu kesini lagi." lalu ibu itu meninggalkan saya keluar ruangan sedangkan saya masih bengong sambil garuk-garuk kepala. Sejurus kemudian saya rapikan kembali berkas-berkas itu lalu segera pergi. Hari itu saya mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan. Hari itu juga saya putuskan untuk pergi menengok bibi saya yang sedang sakit dan tidak meneruskan ke sekolah lain. Saya ingin introspeksi diri sebelum kembali bertempur....

Selama dalam perjalanan menuju rumah bibi yang berjarak 15 km dari sekolah saya berpikir dan berpikir, apa yang salah...

Saya memang sempat terkejut dengan reaksi yang saya terima di sekolah, terkesan tidak sopan sama sekali memperlakukan orang apalagi dengan orang yang baru dikenal..

Tapi saya tidak mau berlarut-larut dengan ini. Saya tidak sakit hati sekalipun agak kecewa. Saya belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi.Dalam hati dan pikiran saya merasa sangat prihatin dengan para profesional di profesi saya. Sedemikian buruknyakah mereka memberikan contoh produk dan layanan hingga sekolah menjadi sangat resisten dan traumatik sehingga bukan lagi berorientasi pada helping other people.

*Masih tetap dalam perjalanan*

Saya teringat kembali cerita seorang kawan yang pernah ia dengar dari salah satu program di RRI beberapa tahun sebelumnya...

Seorang mantan penjahat yang ingin bertobat datang kepada seorang guru kebaikan dan berharap akan belajar kebaikan untuk membayar lunas semua kisah kelamnya di masa lalu...

Ketika datang si penjahat ini berkata,"Ajarkanlah kepadaku tentang kebaikan."

Guru berkata,"Besok datanglah kemari aku akan memberikan tugas baru untukmu." kemudian si penjahat ini pergi dan keesokan harinya datang kembali.

Guru berkata," Bawalah batu ini. Pesanku, coba tanyakan kepada orang-orang di pasar. Seandainya batu ini dijual berapa harga pantas yang mereka tawarkan. Setelah kamu tahu, bawalah kembali batu itu kemari dan ceritakan apa yang kamu alami." Kemudian si penjahat ini pergi ke pasar dan mendatangi satu persatu penjual batu di pasar. Jawaban mereka beragam. Ada yang mengatakan menghargai batu itu dua keping uang perak, ada yang menghargai batu itu sekeping uang perak, ada yang tidak bersedia membeli namun bila diberikan gratis mereka masih bersedia menampungnya. Namun ada pula yang bahkan diberikan secara gratispun mereka tetap tidak bersedia menerimanya. Hal ikhwal peristiwa di pasar ini diceritakanlah kepada sang guru sesampainya di kediaman guru itu. Lalu si penjahat bertanya kepada guru ini mengapa mereka bereaksi seperti itu, sebenarnya batu apakah itu...Guru kebaikan ini tidak menjawab pertanyaan si penjahat secara langsung, namun berkata,"Besok bawalah batu ini kepada....(disebutkanlah beberapa nama). Lakukan hal yang sama, cukup bertanya namun tidak untuk menjualnya."

Keesokan harinya si penjahat ini melakukan hal yang sama, mendatangi beberapa orang seperti yang diminta oleh si guru. Tapi kali ini berbeda sama sekali respon yang diterima dari orang-orang yang ditemuinya. Ada yang menawar dengan harga sekeping uang emas, ada yang menawarkan dengan sekarung emas dan bahkan ada yang mengatakan dengan harta yang ia punya sepertinya tidak cukup untuk membeli batu itu. Semakin heranlah si penjahat ini. Pengalaman yang ia dapatkan sepanjang hari ini berbeda sekali dari yang ia dapatkan kemarin. Selesai mengunjungi orang-orang ini iapun segera menuju ke rumah guru kebaikan dengan tergesa-gesa karena tidak sabar menunggu apa cerita di balik ini semua.

Setelah bertemu dengan sang guru iapun menceritakan kejadian yang dialami hari ini. Sang berguru bertanya,"Tahukah kamu apa gerangan batu itu?" Si penjahat menjawab,"Tidak!"

Kemudian sang guru menceritakan bahwa batu yang dibawanya selama dua hari ini untuk ditawarkan kepada orang di pasar dan beberapa orang sebenarnya adalah batu mutiara yang belum digosok. Demikianlah hanya orang-orang tertentu saja yang tahu, mengerti dan paham bahwa itu adalah benda berharga yang bisa menghargai itu dengan sepantasnya. Si penjahat inipun mengerti dan hari ini dia belajar tentang arti sebuah kebajikan.

Dari pengalaman ini saya belajar melihat kemungkinan-kemungkinan kecil, membaca respon-respon halus dan membedakan apakah user memiliki minat dan tidak terhadap program ini sejak awal mereka mengajukan pertanyaan.Satu hal lagi yang penting pada bagian ini adalah saya tidak mencoba berposisi sebagai PENJUAL akan tetapi KONSULTAN. Apa perbedaannya? Seorang penjual bagi saya hanya peduli dengan barang dagangannya sepintar apapun dia mempersuasi orang yang menjadi calon pembelinya, mereka tidak terlalu peduli dengan masalah pembelinya. Sebaliknya seorang Konsultan bagi saya akan memberikan panduan, mengedukasi, memahami permasalahan yang dihadapi calon kliennya. Target utama saya adalah membuat mereka lebih kritis, mengerti dan paham bagaimana melihat kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dan memilih dengan cara yang tepat terlepas apakah mereka akan bekerjasama atau tidak. Karena keputusan melanjutkan kerjasama atau tidak bukan sekedar ketertarikan, masih ada beberapa variabel yang perlu diperhitungkan. Seringkali orang mengambil keputusan bukan dengan kepintaran mereka saja namun juga dengan kebodohan atau ketidaktahuannya,dan itulah tugas saya. Namun bagi saya logika sederhananya adalah apabila pekerjaan kita memiliki mutu dan standar tinggi dibandingkan dengan yang lain sudah lazim kecenderungan orang untuk mencari yang bermutu.

Saya memastikan bahwa bila tawaran kami ditolak itu bukan karena mutu pekerjaannya rendah tapi lebih karena faktor politis lokal. Dan bila demikian saya bisa meninggalkan TKP dengan tenang dan tetap dengan senyum kemenangan. Saya tahu bahwa kami membuat standar bukan mengikuti standar, itulah yang membantu saya untuk tidak merisaukannya. Keyakinan saya dan tim semakin kuat seiring dengan berjalannya waktu. Seperti kata Thomas Alva Edison, "Yang menjadi bagian penting dari penemuan bohlam adalah saya tahu 4999 cara yang salah dalam membuatnya."

Pengalaman saya hari itu sangat berharga, segala sesuatunya setelah ini menjadi lebih jelas. Saya merasa lebih bergairah, kreatif melihat situasi dan nothing to loose.

Saya teringat kata Norman Lear dalam buku On Becoming a Leader yang dicuplik oleh Warren Bennis. "The goal isn't worth arriving at unless you enjoy the journey" (sebuah tujuan tak layak dicapai kecuali anda bisa menikmati perjalanannya)...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun