Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Memperkuat dan Menjaga KPK

7 Agustus 2011   08:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:01 288 1
[caption id="attachment_127475" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS/Totok Wijayanto)"][/caption] Tulisan singkat ini merupakan refleksi saya terhadap sejumlah isu yang saat ini berkembang mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya yang terkait dengan tuduhan dari mantan bendahara umum PD--Nazaruddin--yang saat ini buron dan kemudian menyebabkan dibentuknya Komite Etik KPK untuk menanggapi tuduhan tersebut; proses seleksi pimpinan KPK yang saat ini telah memunculkan 10 nama calon yang diantaranya berasal dari institusi penegak hukum lain (kepolisian dan kejaksaan) yang kemudian mendapat tanggapan negatif dari sejumlah pihak; serta wacana pembubaran KPK. Saya ingin memberikan opini terkait dengan kedua isu tersebut dari sejumlah sisi terutama dari sisi keberadaan sebuah badan anti korupsi seperti KPK yang keberadaannya merupakan suatu hal yang mutlak bagi bangsa ini serta bagaimana memperkuat dan menjaga KPK sehingga tetap berintegritas dan menjadi andalan dalam upaya memberantas korupsi di Republik Indonesia tercinta ini. Mengapa KPK diperlukan? KPK merupakan sebuah institusi yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia. Hal ini dengan mengingat bahwa bagi bangsa Indonesia, korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga Internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia. Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005). Untuk mengatasi permasalahan korupsi ini, menurut berbagai literatur yang tersedia, terdapat setidaknya 4 (empat) strategi yang dilakukan dalam mengatasi korupsi yakni: (1) strategi terkait masyarakat; (2) strategi terkait hukum; (3) strategi terkait pasar; serta (4) strategi terkait politik. Keberadaan institusi seperti KPK merupakan implementasi dari strategi yang terkait hukum yakni berkenaan dengan pengenaan aturan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang diantaranya dilakukan melalui keberadaan sebuah komisi khusus (badan anti korupsi) yang dapat melakukan tindakan hukum terhadap pelaku korupsi. Keberadaan badan anti korupsi seperti halnya KPK juga merupakan amanat dari Konvensi PBB tentang anti korupsi (UN Convention Against Corruption/UNCAC) yang mulai berlaku efektif pada 14 Desember 2005, khususnya dalam Pasal 6 ayat 1 dari konvensi tersebut. Berangkat dari berbagai kondisi dan argumentasi tersebut, maka keberadaan KPK merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan bagi bangsa Indonesia. Saya cenderung tidak sepakat dengan pihak-pihak yang mengatakan bahwa KPK hanyalah sebuah institusi yang bersifat sementara (ad-hoc). Apabila kita merujuk kepada Konvensi PBB mengenai Korupsi maka kita dapat melihat bahwa institusi seperti KPK bukanlah sebuah institusi yang bersifat sementara. Belum lagi apabila kita melihat pengalaman Hong kong melalui ICAC (independent commission against corruption)-nya misalnya yang telah terbentuk sejak tahun 1974 dan masih eksis sampai dengan saat ini. Karenanya, saya termasuk pihak yang mendukung gagasan mengenai perlunya KPK diatur dalam UUD sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang unsur pimpinan dari salah satu lembaga tinggi Negara beberapa waktu yang lalu. Bagaimana memperkuat dan menjaga KPK? Keberadaan badan anti korupsi seperti halnya KPK merupakan suatu hal yang positif dalam membantu upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan kualitas dalam tata kelola pemerintahan. Namun demikian, terdapat juga pertanyaan dari berbagai pihak yang melandasi keraguan terhadap sejauhmana sebuah badan anti korupsi dapat efektif melaksanakan tugasnya. Terkait hal ini, terdapat sejumlah literatur yang mencoba untuk membahas mengenai bagaimana membuat institusi seperti KPK menjadi kuat dan efektif dalam memberantas korupsi. Saya mencoba untuk menggambarkan bagaimana sejumlah literatur membahas ini khususnya yang berasal dari pengalaman sejumlah Negara seperti Singapura dan Hong kong. Aspek yang saya ingin soroti terutama menyangkut bagaimana sebuah badan anti korupsi harus kredibel serta lebih independen dari kepolisian. Menyangkut hal ini, Jon Quah misalnya dalam bukunya mengemukakan mengenai pembelajaran untuk memberantas korupsi yang berasal dari pengalaman Singapura (Quah, 2010), yakni: (1) kemauan politik diperlukan untuk keberhasilan; (2) badan anti korupsi harus independen dari kepolisian dan dari kontrol politik; (3) badan anti korupsi harus tidak koruptif; (4) mengekang korupsi dengan meningkatkan gaji; serta (5) memotong redtape dan menghukum pelaku korupsi. Sementara dari kasus keberadaan Hong kong ICAC terdapat sejumlah faktor pendukung keberhasilan pemberantasan korupsi di Hong Kong selama ini, yaitu: (1) komitmen politik yang kuat; (2) tiga pilar strategi yang terpadu dan konsisten; (3) kredibilitas badan anti korupsi; serta (4) konteks lokal kebijakan. Berangkat dari pengalaman Singapura dan Hong kong tersebut, saya ingin memberikan catatan terkait kredibilitas badan anti korupsi dan independensinya dari kepolisian dan kontrol politik tetapi tetap akuntabel dan tidak menyalahgunakan kewenangannya. Menyangkut kredibilitas dari badan anti korupsi, salah satunya menurut Quah (2010) akan ditentukan oleh imej masyarakat terhadap badan anti korupsi, yakni bagaimana masyarakat melihat badan anti korupsi, apakah dilihat sebagai badan yang tidak korup atau sebagai badan yang justru penuh dengan korupsi, dan sejauhmana keluhan terhadap petugas badan anti korupsi yang menangani. Terkait hal ini, dalam konteks ICAC, dalam rangka memastikan bahwa ICAC akan menggunakan dan tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki, sebuah sistem check dan balances diciptakan untuk melakukan pengawasan terhadap ICAC yang dapat dilakukan oleh: (1) Kepala Eksekutif dan Dewan Eksekutif; (2) Kewenangan penuntutan berada pada Kementerian Hukum; (3) Peradilan yang independen; (4) Dewan Legislatif; (5) Empat Komite Penasehat yang diketuai oleh anggota yang bukan pejabat ICAC; (6) Komite Pengaduan ICAC; (7) Penyelidikan Internal dan Komite Pemantau; serta (8) Media yang Bebas. Selain itu, menurut Quah (2010), untuk menjamin integritas, sebuah badan anti korupsi harus dikelola oleh pegawai yang jujur dan kompeten. Kelebihan pegawai harus dihindari dan setiap pegawai yang dinyatakan bersalah karena korupsi harus dihukum dan diberhentikan. Rincian hukuman dari pegawai yang korup harus dipublikasikan secara luas di media massa untuk mencegah orang lain melakukan hal yang sama dan untuk menunjukan integritas dan kredibilitas badan anti korupsi kepada masyarakat. Terkait hal ini, dalam konteks ICAC, pada tahun 1994, sebagai akibat dari tuduhan yang ditayangkan secara luas dan sangat merusak oleh Alex Tsui Ka-Kit yang diberhentikan dari ICAC, sebuah dewan review independen ditunjuk untuk memeriksa kewenangan ICAC. Hasilnya, mereka memperkenalkan pengawasan peradilan yang lebih besar terhadap pelaksanaan kewenangan ICAC dan mendorong bagi pengendalian dan kerjasama yang lebih besar dengan instansi lain dalam mencapai hal-hal terkait non korupsi. Ini adalah bagian dari upaya luas untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. ICAC juga memiliki Komite Independen Pengaduan yang menerima dan mempertimbangkan laporan pada semua penyelidikan non kriminal dari keluhan terhadap Pegawai ICAC. Pada tahun 2003, Kepolisian Hong Kong menyelidiki Sembilan kasus yang melibatkan tuduhan pidana terhadap Pegawai ICAC. Penyelidikan ICAC terhadap semua keluhan kepada pegawainya dan publikasi mengenai hukuman yang diterima oleh pegawai yang bersalah tersebut dengan tindakan indisipliner yang sesuai telah meningkatkan imej dan kredibilitas ICAC di masyarakat. Berangkat dari gambaran kondisi yang terjadi pada Hong kong ICAC tersebut, maka KPK masih harus memastikan bahwa apabila terjadi pelanggaran oleh pegawainya akan dilakukan tindakan penghukuman yang memadai dan publikasi yang luas terhadap kejadian tersebut. Tuduhan dari Nazaruddin yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Komite Etik harus menjadi titik awal guna membuat KPK seperti Hong kong ICAC. Selain itu, para pimpinan KPK mendatang harus mampu memperbaiki sistem pengawasan internal yang saat ini ada serta berkomitmen untuk menindaklanjuti dan mempublikasikan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota maupun pimpinan KPK. Saya yakin, langkah ini akan dapat mengembalikan sekaligus memperkuat imej KPK di mata masyarakat. Sementara itu, menyangkut apakah unsur pimpinan KPK harus ada yang berasal dari lembaga penegak hukum lain (kepolisian dan kejaksaan), maka apabila kita melihat kembali kepada keberhasilan Hong kong ICAC hal tersebut tidak dirasakan perlu. Pada awal dibentuknya, Hong kong ICAC sengaja mengangkat tokoh yang bukan berasal dari kepolisian dan terbukti berhasil. Hal yang perlu diperhatikan oleh pansel dalam memilih calon pimpinan KPK adalah perpaduan antara integritas, rekam jejak, dan komitmen yang kuat dan berani untuk memberantas korupsi tanpa perlu terlalu mempertimbangkan latar belakang tertentu dari para calon, khususnya yang menyangkut instansi asal mereka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun