Coba saja, jika pemilihan presiden (pilpres) dua pasang diawal kontestasi, maka peluang pecah bangsa ini semakin runcing.
Memecah ketegangan dari kemunculan dua pasangan calon (paslon) maka muncul tiga nomor urut paslon. Mewujudkan ini perlu manuver handal terutama dalam urusan melerai potensi konfrontatif keras antar pendukung.
Seorang Joko Widodo atau Jokowi tentu paham, pengalaman masa lalu pilpresnya, menyisakan debat panjang para simpatisan sepanjang masa kepemimpinannya (baca: cebong versus kampret).
Tiga kubu capres, akhirnya melunakan ketegangan kontestasi.
Sekarang tinggal memikirkan bagaimana pilpres satu putaran?
Dana pemilu cukup besar. Resesi ekonomi masih membayangi kehidupan rakyat.
Harga bahan pokok dan energi meningkat terus. Kalau saja pemerintah harus berhutang lagi untuk biaya pemilu, berapa lama lagi rakyat menanggung penderitaan?
Jokowi akhirnya "mengorbankan diri" demi sesuatu harapan besar. Reputasinya hancur gegara melakukan manuver-manuver politik tidak populer serta memainkan kendali pada ruang-ruang kebijakan, nota bene masih dalam kendali dirinya.
Pilpres dengan tiga capres digagas Jokowi itu untuk menebus kerisauan diri sebagai seorang pemimpin rakyat.
Konstalasi politik lebih memudar, seperti makan siang yang penuh keceriaan. Esok usai pesta, ada waktu dalam sisa masa kepemimpinannya untuk cuci piring kembali.
Para penikmat pesta akan lebih berdamai dengan pembagian kue-kue kekuasaannya.
Dan, Jokowi pun pensiun dalam keadaan tenang dengan kembali menjadi rakyat biasa, diam di kampung mengasuh cucu-cucu.
Semesta sejatinya adalah kehidupan damai. Tetapi tidak ada damai tanpa perang sebelumnya.
Konsekuensi berperang dalam ruang pilpres bagi Jokowi itu harus diambil karena cita-citanya hidup meraih kedamaian usai purna tugas memimpin bangsa ini.
Periodisasi terbatas dalam mengurus banyak hal, maka harus lahir pemimpin sejati meneruskan cita-cita kesejatian selaras semesta alam dan kuasa Sang Pencipta.