Ketika adik saya yg berusia 6 tahun bertanya pada ibunya tentang Tuhan. Dia bertanya ada berapa Tuhan di atas. Saya yg sedang asik nonton TV tidak menoleh dan tidak berusaha mengambil tanggung jawab ibunya untuk menjawab. "Tuhan hanya ada satu nak" jawab ibu saya bijak. "Oh berarti aku punya Tuhan satu , mama punya satu, papa punya satu, kakak satu, semuanya satu y a ma?" cetusnya dengan polos Ibu saya diam tdk menjawab, sementara saya pun berusaha untuk tidak tahu. Saya larut dlm keheningan saya. Bertanya pada Tuhan,apakah Tuhan yang dimaksud sama dengan Tuhan saya. Apakah Tuhan saya seperti yg dimaksudkan ibu saya. Apakah Dia itu yg Maha Kuasa yg duduk di singgahsana memberikan perintah perintah kepada seluruh ciptaanya juga melarang ini itu. Bagaimana bisa dia memerintah saya sekaligus memerintah adik saya dan ibu saya dengan cara berbeda. Lalu bagaimana bentuk singgahsananya dan bagaimana cara memerintahnya, sementara dlm persepsi saya Tuhan hanya bicara dengan nabi. Apakah Tuhan nya nabi itu juga Tuhan yang dimiliki oleh. Keluarga saya dan ditaruh menjadi sila pertama di dasar negara saya Pancasila. Tuhan satu menguasai kebaikan dan bertindak adil atas hidup manusia, kenapa saya suka bertanya kenapa ada kemiskinan, dan kenapa ada kekayaan. Saya sering berbuat baik seperti yg diajarkan oleh pemuka agama, tapi saya sering terinjak dengan perbuatan baik saya. Begitupun ketika ibu saya protes atas perlakukan saya kepadanya, atau adik protes kepada saya,soal perbuatyan baik yg menurutnya sudah dilakukan masih dipersalahkan. Seandainya jawaban ibu saya benar, dan kesimpulan adik saya adalah benar. Lalu kemana Tuhan bersikap dan untuk siapa kebaikan dan janji surga itu diberikan. Atas dasar kemiskinan yg sangat seperti kata nabi2, atau atas dasar kekayaan yg bisa memberikan lebih banyak kesempatan untuk beramal. Dan suasana tetap hening, sampai adikku bertanya lagi. Kenapa kalau kita jalan malam hari bulan selalu ngikutin kemana kita pergi? sebuah pertanyaan yg menyambung ribuan pertanyaan, yg selalu lewat dalam benak kita dan kita lupakan atas dasar kedewasaan dan sok pengalamannya kita tentang Tuhan. Ibu saya boleh menjawab apa saja, begitupun saya boleh menjawab apa saja. Tapi saya tau jawaban apapun gak bikin adik paham. karena dia hanya seorang anak umur 6 tahun yg senang bertanya apa saja. seorang bibit genrasi masa depan dunia yang harus belajar. Belajar terus agar tidak seperti setiap orang tua yang merasa harus menjawab karena menurut doktrin, menurut keyakinan dan menurut apapun harus menjawab agar terlihat dewasa. Apakah kita sudah dewasa. ataukah kita perlu mengingat setiap masa kecil kita agar ingat bahwa kejujuran dan kepolosan adalah kedewawasaan yang sebenarnya. Kedewasaan yang memang harus terus dimiliki oleh setiap anak tak perduli berapapun usia dan berapapun anak cucunya. Tedi Hermansyah
KEMBALI KE ARTIKEL