Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mengajar Itu Menyenangkan

25 November 2010   10:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 267 0

Jadi guru? Ga salah? Ketika teman meminta saya untuk menjadi guru si sebuah SMK di pinggir Jakarta, terus terang saya belum berpengalaman sama sekali. Ada rasa tidak yakin, apakah saya bisa mengajar? Mau ditolak, penasaran. Ga ditolak, Nggak PD.  Belum jadi guru, saya sudah labil. Mata pelajaran apa yang akan saya ajarkan? Begitu pikir saya waktu itu. Semua nilai pelajaran SMA saya pas-pas-an (yang penting lulus aja). Belum lagi, kalau anak muridnya nakal seperti saya dulu. Takut karma. Namun karena didorong rasa penasaran, saya konfirmasi kembali. 

 

Ternyata teman saya serius menawarkan untuk menjadi guru. Bukan guru tetap atau honorer tapi jadi guru tamu. Saya tidak mementingkan jabatannya, tetap saja namanya guru. Rupanya teman saya ingin memperlihatkan bahwa yang namanya bekerja bukan hanya ada di kantoran, tapi dari hobi pun bisa menghasilkan uang. Mengajarnya dua jam, seminggu sekali selama 3 bulan. Kurikulum dari mereka, saya tinggal mengembangkan dari pengalaman. Bukan itu saja, misi saya juga harus membuat siswa menjadi lebih percaya diri. Biarpun bersekolah di pinggir Jakarta, mereka siap bersaing prestasi dengan anak Jakarta.

 

Sepertinya menyenangkan. Walaupun untuk pekerjaan ini tidak dibayar alias relawan. Saya menerima pekerjaannya, untuk mengajar di kelas dua.  Masalah berikutnya adalah pakaian. Saya tidak biasa berpakaian formal. Kalau diperbolehkan pakaian sesuai dengan style saya. Ternyata dari pihak sekolah tidak keberatan. Mulailah saya mengajar.

 

Ada perasaan grogi ketika berjalan memasuki ruangan kelas. Hhhmmm.... seperti apa ya calon murid saya? Wah kebayang kelas akan ramai karena mereka saling bercanda. Mungkin ada yang mecela atau memberikan nama julukan baru untuk saya? Ah, itu cuma permainan alam pikiran saya saja. Ketika masuk kelas……. Jantung mau berhenti rasanya. Tarik napas. Pasang senyum. Masuk dengan tenang.

 

Begitu masuk kelas. 38 pasang mata menatap heran melihat saya. Ini kok guru, pakaiannya tidak seperti guru. Sementara saya takjub. Ternyata sekelas perempuan semua! Makin kebayang ramainya. Saya mulai mengajar bagaimana mereka mengenal potensi diri mereka. Mulai menggali apa yang ingin mereka lakukan ketika lulus sekolah kelak. Apa hobi mereka? Dari sana saya memberikan ilmu bagaimana mengembangkan hobi menjadi sebuah pretasi. Sistem belajarnya pun kita saling berinteraksi. Di kelas saya, tidak ada salah dan benar. Mereka bebas mengeluarkan pendapat dengan terarah. Waktu pun habis. Rasanya waktu 2 jam yang diberikan menjadi sangat kurang.

 

oOo

 

Tidak terasa sudah dua bulan  saya mengajar. Banyak kejadian yang bisa membuka mata dan memperkaya batin. Banyak dari mereka yang punya potensi untuk berprestasi tapi dikalahkan dengan rasa tidak percaya diri. Di kelas saya selalu mendapatkan pertanyaan lewat surat. Karena ketika pelajaran berlangsung, untuk tanya jawab, mereka bisa bertanya  langsung atau menulis surat pertanyaan tanpa harus menyebut nama.

Banyak pertanyaan mereka yang tajam dan kritis. Saya sampai hapal tulisannya, tapi tidak tahu namanya. Dari surat pertanyaannya saya bisa mengembangkan menjadi bahan pembahasan di kelas. Mengapa seorang anaknya yang cerdas begitu pemalu. Begitu pikir saya. Saya mencari jalan bagaimana caranya untuk tahu namanya.  Akhirnya saya menemukan cara.

 

Bulan kedua. Minggu kedua. Ketika dibuka sesi tanya jawab, saya hampir terlonjak senang karena mendapat pertanyaan dengan tulisan yang saya kenal. Mulailah saya melancarkan aksi. Semua pertanyaan yang masuk akan mendapatkan hadiah masing-masin sebatang coklat. Ya hanya sebatang coklat. Saya memilih dua orang beruntung dengan pertanyaan terbaik. Satu dari pertanyaan langsung dan satu dari pertanyaan surat. Akhirnya saya tahu nama siapa nama pemilik tulisan itu. Sebuat saja, Ijah.

 

Ijah memiliki badan kecil, kurus dan berkulit hitam dengan kepala tertutup jilbab. Dia tidak percaya ketika memenangkan hadiah dadakan dari saya. Ada perasaan haru ketika menatap matanya. Ada rasa tidak percaya bercampur senang, ketika ia mendapatkan hadiah. Pulang sekolah saya bertanya kepada teman saya siapa Ijah sebenarnya. Ternyata benar, dia selalu mendapat angka bagus untuk pelajaran bahasa Jepang. Tahun kemarin, dia sudah dicalonkan sekolah untuk mengikuti perlombaan pidato bahasa Jepang tingkat daerah. Bila menang akan dikirim ke tingkat nasional. Ternyata dia tidak bersedia. Walaupun kepala sekolah sudah membujuknya.

 

Tahun ini acara serupa akan dilaksanakan. Pihak sekolah masih menginginkan Ijah untuk menjadi wakil mereka. Pihak sekolah meminta saya untuk ”membujuk” Ijah agar bersedia ikut untuk tingkat wilayah. Saya akan usahakan dan tidak berani berjanji kepada pihak sekolah. Sekarang saya punya sebuah misi. Saya tertantang untuk melakukannya. Ketika pelajaran saya, mulai menyinggung soal kepercayaan diri. Saya ’berbicara’ kepada Ijah, seolah-olah saya berbicara kepada semua. Tidak ada ’tanggapan’ dari Ijah. Pelan-pelan pasti berhasil. Saya mengibur diri sendiri.

 

Bulan ke tiga. Minggu pertama. Saya mengajar seperti biasa. Setelah selesai. Waktu pendaftaran kompetisi tinggal dua minggu lagi.  Saya bertemu dengan teman di ruang guru. Sepertinya Ijah tidak termakan omongan saya di kelas. Yang penting saya sudah mencoba. Saya berjalan menuju mobil. Begitu hendak membuka pintu mobil. Saya menoleh. Ada Ijah berdiri dengan mata sendu. Saya menghampirinya dan mengajak ke warung dekat tempat ia berdiri. Dia ingin ikut lomba pidato bahasa Jepang. Saya hampir pingsan mendengar perkataannya. Ternyata omongan saya di kelas, masuk ke dalam otaknya dan mengubah pendiriannya. Dia tidak yakin sekolah akan mengirimnya kerena tahun kemarin dia menolaknya. Sayapun berjanji akan membantu dia untuk memberikan kabar ini ke pihak sekolah.

 

Perlombaan tingkat wilayah tinggal seminggu lagi. Ijah terlihat bersemangat sekali untuk membuktikan kalau dia bisa. Saya senang melihatnya. Walau saya sedih karena hari ini terakhir saya mengajar sebagai guru tamu. Pelajaran terakhir. Banyak yang sedih ketika saya memberitahukan hari ini hari terakhir saya. Saya membawa lima lusin donat untuk disantap bersama di kelas. Hari ini tidak ada pelajaran. Sebagai gantinya, kami ngobrol dengan santai layaknya seorang sahabat. Saya memberikan dukungan dan berjanji kepada  Ijah. Bila menang tingkat wilayah, akan mengajak dia untuk menjadi bintang tamu selama 1 jam di acara radio saya. Dia terkejut. Seisi kelas bersorak senang.

 

Sudah sebulan saya selesai mengajar. Saya siaran radio ditemani Ijah sebagai narasumber karena dia memenangkan lomba pidato bahasa Jepang bukan tingkat wilayah tapi tingkat Nasional. Salah satu hadiah liburan seminggu ke Jepang! Tidak ada lagi pandangan rendah diri dan bicaranya pun lancar di depan mike. Dia bercerita bagaimana mendapatkan kesuksesan. Secara tidak sadar dia telah memotivasi Ijah-Ijah lain di luar sana. Dengan latar belakang dari keluarga miskin dengan kerja keras dan percaya diri dia bisa meraih sukses.

 

Kini saya tidak tahu dimana Ijah berada.

 

oOo

 

Ternyata memang menyenangkan menjadi guru, walupun hanya sebagai guru tamu. Tidak heran mengapa seorang guru tetap semangat mengajar dan berdedikasi pada pendidikan. Ada rasa kepuasaan setiap habis mengajar.

 

Saya memberikan alamat FB dan twitter kepada murid-murid saya. Siapa tau mereka mau bertanya seputar pelajaran yang saya ajarkan. Saya selalu kangen dengan teman-teman remaja saya, begitu saya menyebut mereka.

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun