Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perlawanan Orang-Orang Pinggiran dalam Kumpulan Cerpen "Cinta Tak Ada Mati"

23 September 2023   19:20 Diperbarui: 23 September 2023   19:23 208 0
  • Identitas Buku :

    Judul Buku : Cinta Tak Ada Matiny

    Jenis Buku : Kumpulan Cerpen

    Pengarang : Eka Kurniawan

    Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

    Tahun Terbit : 21 Mei 2018

    Cetakan : Cetakan Pertama Mei 2018

    Tebal : 164 Halaman

    ISBN : 978-602-03-8635-5

    Seorang penulis hebat yang berasal dari Indonesia dan dikenal dengan karya-karya diluar nalarnya, tepatnya beliau lahir di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 28 November tahun 1975. Sang sastra pun adalah sahabat karibnya, Eka Kurniawan merupakan seorang yang pernah beralmamater Universitas Gajah Mada, dan berasal dari jurusan Filsafat. Ayah dari seorang gadis yang bernama Kinanti Kurniawan, dan suami dari perempuan yang bernama Ratih Kumala ini dikenal oleh banyak orang, karena karya-karyanya yang fenomenal. Salah satu karya yang menjunjung namanya adalah novel berjudul "Cantik Itu Luka".  Karya tersebut menorehkan beberapa penghargaan dan prestasi berkelas, salah satunya adalah penghargaan World Reader's Award yang mana penghargaan ini diraih pada tahun 2016 di Hongkong.

    Berkat torehan-torehan gemilang yang didapat karena kejeniusan Eka Kurniawan dalam berkarya, novel " Cantik Itu Luka "  memiliki terbitan di tiga negara Eropa yaitu Jerman, Polandia, dan Norwegia. Pada tahun 2006, Eka Kurniawan dinobatkan sebagai salah satu dari 100 pemikir paling berpengaruh di dunia oleh Jurnal Foreign Policy dan karyanya dengan judul "Lekaki Harimau" menjadi salah-satu buku yang pertama di Indonesia yang berhasil menjadi nominasi pada penghargaan sastra " The Man Booker Internasional Prize".

    Garis besar novel karya Eka kurniawan yang menjadi topik pembahasan kali ini berisi kumpulan cerpen tentang orang-orang buangan, peristiwa aneh, dan respons ajaib dari karakter-karakternya. Cerita tentang bagaimana melawan kenyataan bukan dalam bentuknya yang gagah, tapi dengan bermain-bermain. Tidak mengherankan, kegilaan pada karya Eka Kurniawan ini menjadi ciri khas tersendiri bagi seorang Eka Kurniawan. Salah satu karya beliau yang pernah tamat dalam deru nafsu literasi saya adalah "seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", dan pada keseluruhan kisah di dalam novel tersebut, Eka Kurniawan tetap dengan bumbu-bumbu sastranya yang khas dan dapat diterka, meski sadar pun telah raib dimakan masa.

    Kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati menggambarkan bagaimana orang-orang buangan, pinggiran, dan mereka "yang tak punya sesuatu apa kecuali doa" melawan kemapanan. Dengan sebuah konsep Perlawanan yang tidak datang dalam bentuk pemberontakan yang gagah, kemartiran yang selalu diingat, atau epos yang menghiasi buku sejarah, namun hadir dalam tindakan yang sangat pribadi, subtil, dan senyap sulit ditebak. Ada perlawanan seorang budak perempuan yang jago masak di keluarga Belanda pada masa kolonial dengan mencampur tanaman beracun ke dalam masakan-masakan sedapnya. Lalu, seorang perempuan yang berusaha bebas diri dari pernikahan paksa dengan menjadikan dirinya tak perawan sebelum malam pertama. Ada juga pria yang tak mati-mati meskipun seluruh bagian tubuhnya telah dipenggal dan dicacah. Ia terus hidup dan melawan meskipun sudah tak kasat mata. Tak semua karakter dalam kumpulan cerpen ini melawan karena diinjak. Sebagian tindakan suprarasional justru lahir karena dorongan cinta "yang tak ada mati". Bahkan, karakternya tak selalu manusia. Ada seekor binatang peliharaan fantasi yang digambarkan nyaris punah mencoba melakukan pemberontakan kecil di rumah keluarga manusia. Salah satu bagian cerpen yang menjadi judul buku ini pun juga menyiratkan banyak pesan moral dan nilai sastra yang sangat berharga.

    kumpulan cerpen ini juga berisikan  perlawanan terhadap kemapanan ditunjukan dengan pilihan estetika realisme magis. Bukan dalam bentuk yang serius dan gagah, tapi dengan bermain-main melawan kenyataan kenyataan yang rasional. Bahkan, bentuk baku penulisan  juga dilawan Eka . Dalam "Bau Busuk" dan "Pengakoean Seorang Pemadat Indis", dia menggugat kemapanan tata bahasa dan ejaan. Dalam beberapa cerpen, Eka juga bertutur dalam banyak metafora. Bukan metafora puitis dalam kata-kata indah, tapi metafora vulgar, sadis, dan jorok. Hal ini menjadikan salah satu karya Eka ini menjadi cerpen-cerpen yang perlu filterisasi pembaca. Tidak sembarang orang yang boleh membaca ini, bahkan perlu sebuah bimbingan tersendiri agar tidak salah dalam penafsiranya. Cover buku ini cenderung menampilkan foto abstrak yang perlu pendalaman dalam memaknai siratan yang ada padanya.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun