Dalam pemahaman publik, fenomena politik ini amat kasatmata terjadi pada koalisi partai-partai. Baik di masa lalu atau yang terjadi sekarang. Baik koalisi yang terbentuk dalam pemerintahan atau koalisi yang dibangun menghadapi kontestasi akbar politik seperti Pemilu. Pun Pemilu 2024, yang di dalamnya termasuk Pilpres.
Menuju Pemilu 2024, saat ini sudah terbentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi oleh Golkar, PAN dan PPP, serta Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang dideklarasikan oleh Gerindra dan PKB. Satu koalisi lagi, yakni Koalisi Perubahan (KP), sudah lama diwacanakan oleh NasDem, Demokrat dan PKS. Namun belum dideklarasikan.
KIB dan KIR terbentuk dengan visi, misi dan platform yang hampir sama. Kedua koalisi merupakan bentuk kerja sama dalam menyukseskan pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Bisa dipahami, mengingat kelima partai yang tergabung dalam KIB dan KIR adalah partai-partai koalisi pemerintah.
Menjalankan demokrasi konstitusional menjadi cita-cita dari KIB, yang dijabarkan dengan memperjuangkan politik gagasan, ide, dan pemikiran. Hal itu dijadikan sebagai landasan prinsip melalui proses-proses politik yang mencerdaskan, menggembirakan, mensejahterakan, memakmurkan, dan berkeadilan.
Memperjuangkan NKRI yang lebih maju, adil dan sejahtera juga menjadi platform dari kerja sama Gerindra dan PKB dalam KIR. Kedua partai mengaku akan berjuang bersama menghadapi Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024.
Jika dalam perjalanannya banyak dinamika yang mengiringi, itulah politik. Dinamika yang berkembang juga tidak menafikan munculnya ancaman-ancaman yang dikhawatirkan bisa memengaruhi mulusnya koalisi.
Ancaman yang muncul, ketika koalisi mulai memasuki fase yang menentukan seiring dengan terus berjalannya waktu dan orang-orang mulai berbicara tentang figur-figur pemimpin bangsa masa depan, sejatinya dimulai dari elit-elit politik sendiri.
Pembahasan terkait capres dan cawapres semakin menguat, diwarnai dengan perilaku NasDem yang dinilai mencuri start dengan mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden (bacapres) mereka. Perilaku NasDem ini secara umum bahkan disesalkan oleh Demokrat dan PKS, dua partai calon tandemnya di KP.
Pada awal pembentukannya, KIB dan KIR sama-sama berkehendak untuk mengusung capres dan cawapres dari kalangan internal. Hal itu pula yang membuat KIB seperti mati-matian menepis anggapan bahwa koalisi yang mereka bentuk adalah sekoci untuk pencapresan Ganjar Pranowo jika pada akhirnya gubernur Jateng itu dibuang oleh partainya, PDIP.
Bantahan itu ditegaskan langsung oleh ketiga pimpinan partai, Airlangga Hartarto dari Golkar, Zulkifli Hasan dari PAN, serta Suharso Monoarfa sewaktu masih memimpin PPP, dan oleh Mohammad Mardiono yang kini menggantikannya.
Buat apa susah payah membangun koalisi jika hanya untuk dijadikan sekoci atau wadah bagi orang lain, itu yang disampaikan oleh pimpinan ketiga partai.