Saat ini, Deal or No Deal menjadi frasa yang ikut mewarnai perbincangan hangat jagat politik nasional. Sejatinya terkait 'pencarian' calon wakil presiden (cawapres) dari seorang Anies Rasyid Baswedan. Penguasa DKI Jakarta yang pada 16 Oktober 2022 resmi meninggalkan kursi gubernur itu tengah melakukan safari politik demi memenuhi ambisinya sebagai capres.
Anies sudah bertemu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dalam pertemuan di Kantor DPP Demokrat itu, Jumat (7/10), keduanya terlihat akrab. Namun, dari pandangan sejumlah pengamat, tak bisa dipungkiri jika Anies 'sukses' untuk menahan diri dengan secara langsung mengajukan pinangan pada ketum Demokrat tersebut. Sebaliknya, AHY merasa 'chemistry'-nya sudah nyambung dengan mantan Mendikbud itu.
No Deal, Adi Prayitno. Direktur Parameter Politik Indonesia itu tak cuma mengamati gestur tubuh Anies dan AHY saat berbicara dan saling memuji. Akan tetapi, Adi Prayitno juga mencermati betapa Anies tidak terbawa atau terpengaruh dengan berbagai pancingan AHY yang terus mengumbangnya.
Secara umum, kata Adi Prayitno, pidato Anies-AHY mengandung kecocokan, saling puji, dan serasi kerjasama di 2024. Pada level itu deal. Tapi pada level Anies-AHY berpasangan no deal, ungkap Adi seperti dikutip media.
Jika disederhanakan, pada tataran kepentingan untuk 2024, Anies dan AHY sepakat untuk kerja sama politik. Namun, pada tataran pasangan calon dinilai belum ditemukan kata sepakat.
Intinya, pada level paslon no deal. Padahal, AHY sudah mengurai kode keras. Misalnya, bahwa perkenalan dengan Anies sudah lama. Anies juga sempat ikut konvensi Demokrat.
Kita ketahui bahwa Anies diberi keleluasaan oleh Surya Paloh, ketum NasDem, untuk menentukan cawapresnya sendiri. Mantan Rektor Paramadina itu juga tidak dipaksa kader Partai Nasdem.
Kendati demikian Adi Prayitno tetap melihat adanya peluang bersatunya Anies dengan AHY itu. Dia mempertimbangkan poros NasDem, Demokrat, dan PKS saling mengunci dan membutuhkan untuk berlaga di 2024.
Adi Prayitno mengurai alasannya. Seperti dikutip dari Kompas.com, yang pertama, AHY masuk bursa cawapres unggulan yang punya elektabilitas. Kedua, AHY Ketum Demorkat yang bisa mengunci Anies bisa maju pilpres atau tidak. Poin kedua itu bisa dianulir jika Demokrat ikhlas lillahi ta'ala dukung Anies tanpa harus AHY cawapres.
Alasan yang disampaikan Adi Prayitno masuk akal. NasDem dan PKS tak cukup daftar ke KPU. Mereka masih butuh Demokrat. Dengan begitu, seperti diasumsikan selama ini, koalisi NasDem, Demokrat dan PKS sepertinya memang tinggal tunggu waktu atau momentum yang tepat.
Oleh karena itu bisa jadi Anies memang masih mencoba menahan diri untuk tidak terburu-buru melamar AHY. Dia merasa harus bertemu dengan beberapa kandidat lainnya, seperti yang ramai disebutkan belakangan ini. Calon pendamping Anies lainnya adalah Panglima TNI Andika Perkasa dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Dari prediksi para pengamat, dua nama besar itu juga berpotensi menggeser posisi AHY.
Di samping Andika dan Khofifah, ada nama lain yang juga masuk intaian NasDem dan sudah dikomunikasikan ke Anies. Yakni, Yenny Wahid. Juga, Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng yang kader PDIP. NasDem dan Anies sudah meyakini jika Ganjar tidak akan dilirik oleh Megawati Soekarnoputri sebagai capres mereka, meski elektabilitasnya terus tak tergoyahkan di urutan tiga besar dari hasil mayoritas jajak pendapat publik.
Akhirnya, tergantung pada Anies, memilih Deal or No Deal dengan siapa. Di satu sisi, Anies sementara punya kekuatan karena kemungkinan besar juga didukung oleh Demokrat dan PKS sebagai capres.
Dukungan dari Demokrat dan PKS mempercepat perwujudan koalisinya dengan NasDem. Ini bisa jadi koalisi kedua setelah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang diinisiasi Golkar, PAN dan PPP. Pembentukan koalisi NasDem. Demokrat dan PKS, menurut hemat Aditya Perdana, pada akhirnya akan mempercepat kelahiran koalisi lain.
Kendati demikian, Doktor ilmu politik FISIP Universitas Indonesia yang juga Direktur Eksekutif Algoritma itu menyebutkan pembentukan koalisi yang terlalu cepat bisa merepotkan penyelenggara pemilu, mengingat tahapan kampanye masih sangat jauh.
Begitu pun, percepatan pembentukan koalisi tampaknya sulit dibendung. Abdul Hakim, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), memperkirakan jika setidaknya akan ada empat poros atau gugus.
Dengan mempertimbangkan pencapaian ambang batas 20 persen kursi DPR, yakni aturan Presidential thresshold 20%, dan mengacu pada dinamika terkini terkait upaya membangun koalisi dari 9 parpol berkursi di DPR RI sebagai pemegang tiket pencapresan, Abdul Hakim menyebut adanya empat poros pencapresan.
Gugus pertama, seperti disampaikannya ke media, PDIP. Partai banteng bisa memajukan pasangan kandidat sendiri tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain karena sudah memiliki jumlah kursi 22.3%. Berikutnya, gugus kedua, KIB. Ketiga, ada Partai Gerindra dan PKB yang sudah mendeklarasikan kesepakan untuk berkoalisi, dengan jumlah kursi 23.7%. Gugus keempat, koalisi Nasdem, Demokrat dan PKS, dengan komposisi 28.3% kursi.
Merujuk pada dinamika yang terus berkembang, Abdul Hakim memperkirakan jika formasi gugus itu masih sangat mungkin berubah. Itu dicerminkan dari masih terusnya elit-elit parpol menjalin komunikasi, menjajaki koalisi. PDIP, melalui Puan Maharani, Sabtu (8/10) akan bertemu Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Siapa yang akan menduga jika Puan tiba-tiba menyatakan PDIP deal dengan Golkar, bergabung ke KIB?
Politik itu dinamis. Dan pada momen-momen tertentu bisa sangat cair..