Pengenaan tarif cukai rokok telah diatur dalam PMK 191 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris. Hingga per 1 Januari 2024, pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10%. Undang- Undang Cukai No. 39 Tahun 2007 sebagai perubahan dari Undang- Undang 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. Sebelumnya, tarif maksimal adalah 1.150% dari nilai pabean ditambah bea masuk atau 80% dari harga jual eceran. Dalam perubahan ini, tarif tertinggi ditetapkan menjadi 275% dari harga jual pabrik atau 57% dari harga jual eceran untuk barang-barang tertentu yang berdampak negatif bagi kesehatan.
Kenaikan harga rokok diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok baru, terutama di kalangan anak-anak, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok. Namun, kenaikan cukai ini juga bisa menjadi beban tambahan bagi masyarakat, khususnya keluarga berpenghasilan rendah, karena pengeluaran untuk rokok mencapai 12,21% dari total pengeluaran rumah tangga miskin. Selain itu, kenaikan harga rokok legal sering kali diikuti oleh peningkatan peredaran rokok ilegal, karena perokok dengan pendapatan rendah cenderung beralih ke rokok ilegal sebagai respons terhadap harga yang lebih tinggi, sehingga memperumit upaya pemerintah dalam pengendalian konsumsi rokok.
Pentingnya memasifkan upaya untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia. Kini, Indonesia telah menempati peringkat ketiga dengan perokok terbesar di dunia di bawah China dan India (Kemenkes). Pada tahun 2018, jumlah pembuatan hasil tembakau melewati batasan yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian sebesar 260 miliar batang yaitu mencapai 332, 38 miliar batang (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), 2020). Namun, menurut CNN (2024) ,walaupun harga rokok terus dinaikkan, jumlah perokok malah meningkat menjadi 8,8 juta. Hal ini menjadi sebuah tanda tanya, apakah kenaikan cukai ini efektif untuk mengurangi konsumsi rokok? ataukah hanya sebagai regulasi penambah penerimaan negara?
Kenaikan cukai rokok di Indonesia telah menjadi topik perdebatan yang hangat, terutama terkait dampaknya terhadap penerimaan negara. Meskipun cukai hasil tembakau (CHT) tetap menjadi penyumbang terbesar dalam penerimaan cukai, banyak pihak menilai bahwa kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif dalam mengoptimalkan pendapatan negara. Berdasarkan data, kontribusi CHT mencapai sekitar 97 persen dari total penerimaan cukai pada kuartal I tahun 2021, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp49,56 triliun. Namun, situasi ini tidak mencerminkan keberhasilan jangka panjang dalam pengendalian konsumsi rokok.
Salah satu kritik utama terhadap kenaikan cukai adalah dampaknya terhadap prevalensi merokok. Menurut Prof. Candra Fajri Ananda dari Universitas Brawijaya, meskipun ada penurunan prevalensi merokok di kalangan usia dini, angka keseluruhan tidak menunjukkan perubahan signifikan selama 15 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai tidak berhasil menekan angka perokok secara efektif. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal, yang justru dapat mengurangi penerimaan negara.
Data menunjukkan bahwa setelah kenaikan cukai sebesar 23% pasca-pandemi, penerimaan negara dari CHT mengalami penurunan drastis menjadi Rp213 triliun pada tahun 2023, turun dari Rp350 triliun pada tahun 20193. Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) menyatakan bahwa meskipun cukai selalu naik setiap tahun, realisasi pendapatan tidak sesuai harapan. Penurunan ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam formulasi kebijakan cukai saat ini.
Elizabeth Kusrini dari Indonesia Budget Center juga menyoroti bahwa meskipun ada kenaikan cukai sebesar 10% selama dua tahun berturut-turut, realisasi penerimaan justru menurun. Ia menekankan perlunya evaluasi dan penyesuaian kebijakan untuk mencapai keseimbangan antara optimalisasi penerimaan dan tujuan kesehatan masyarakat. Kebijakan yang lebih moderat dan terencana diharapkan dapat meningkatkan kepastian usaha bagi pelaku industri dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Maka penting untuk mempertimbangkan regulasi lain untuk mengatasi masalah rokok yang masih marak di masyarakat. Ekonom dari Universitas Airlangga menegaskan bahwa tingginya proporsi cukai rokok saat ini tidak sebanding dengan tantangan yang dihadapi industri akibat peredaran rokok. Meskipun CHT tetap menjadi penyumbang utama cukai dalam penerimaan negara, efektivitas kebijakan kenaikan cukai dalam mengoptimalkan pendapatan masih dipertanyakan. Penurunan penerimaan pasca-kenaikan tarif menunjukkan perlunya pendekatan baru yang mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat dan stabilitas industri tembakau.
Pro Penulis
Kebijakan kenaikan cukai rokok harus didukung sebagai tindakan strategis karena bertujuan untuk mengurangi prevalensi merokok terutama di kalangan anak-anak dan remaja, serta mengurangi dampak buruk rokok terhadap kesehatan masyarakat. Namun, kebijakan ini harus diiringi edukasi yang masif dan persuasif. Pemerintah dapat melakukan kampanye, seperti menggencarkan penyuluhan di sekolah, tempat kerja, dan komunitas yang akan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya konsumsi rokok. Pendekatan ini jauh lebih efektif dibandingkan hanya pada peringatan visual, seperti gambar penyakit pada kemasan rokok.
Selain itu, pemerintah harus memberikan teladan nyata dalam mengurangi budaya merokok. Kebijakan menaikkan cukai rokok untuk mengurangi konsumsi rokok menjadi kurang efektif dan bahkan kehilangan kredibilitas masyarakat karena banyak pejabat yang merokok di ruang publik atau acara resmi. Konsistensi antara kebijakan dan perilaku pejabat sangat penting untuk membangun kepercayaan dan mendorong masyarakat untuk mengikuti anjuran pemerintah. Langkah-langkah ini juga harus diikuti dengan peraturan yang melarang merokok di tempat publik dan memperkuat upaya hukum untuk memerangi penjualan rokok ilegal.
Kenaikan tarif cukai tembakau (CHT di Indonesia menjadi kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara. Kebijakan ini berpotensi untuk mengurangi jumlah perokok baru, terutama di kalangan anak-anak, melalui kenaikan harga rokok. Selain itu, cukai rokok tetap menjadi penyumbang utama dari penerimaan negara, karena 97% dari total cukai pada kuartal I 2021. Namun, kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan, seperti prevalensi merokok secara keseluruhan tidak akan menunjukkan penurunan secara signifikan selama 15 tahun terakhir. Selain itu, kenaikan tarif cukai yang diikuti dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal dan penurunan jumlah pabrikan rokok, yang beresiko pada penurunan penerimaan negara. Sebagai contoh, pada penerimaan dari cukai menurun drastis dari Rp 350 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 213 triliun pada tahun 2023. Meskipun harga yang terus mengalami peningkatan, jumlah perokok justru meningkat menjadi 8,8 juta pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan perlunya ada evaluasi lebih lanjut untuk memastikan efektivitas kebijakan ini dalam mencapai tujuannya.
Untuk mengoptimalkan kebijakan cukai rokok, pemerintah perlu untuk melakukan evaluasi yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek penerimaan negara, pengendalian konsumsi rokok, dan stabilitas industri tembakau. Kenaikan pada tarif cukai dapat dilakukan secara bertahap untuk meminimalkan dampak negatif, seperti peningkatan pada peredaran rokok ilegal. Pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap rokok ilegal dan memperkuat penegakan hukum di sektor ini. Selain itu, edukasi publik mengenai bahaya dari merokok perlu diperluas, dengan fokus pada anak-anak dan remaja untuk mengurangi angka perokok baru pada anak muda. Di sisi lain, pelaku industri dapat didorong untuk beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan atau tembakau non-rokok melalui pemberian insentif.