Setelah menrencanakannya sejak akhir juli lalu, akhirnya kami memutuskan berangkat juga menuju tempat yang kami rindukan setelah lama kami tak ke sana. Meru Betiri namanya, suatu hutan belantara di ujung selatan kabupaten Jember. Hutan hujan tropis ini memang jarang terjamah manusia modern. Pesonanya sungguh luar biasa. Selain kaya akan heterogenitas flora, paru-paru Indonesia ini masih memiliki fauna istimewa yang misterius: Harimau Jawa. Memang kami sendiri belum pernah menjumpainya. Barangkali macan itu begitu pemalu. Ia tak mau sedikitpun tampakkan batang hidungnya pada manusia. Macan Jawa, macan yang punya hutan! Jangan macam-macam karena ia masih berkeliaran di tempat-tempat tak terdeteksi Meru Betiri.
Selain kaya akan pesona flora dan fauna, Meru Betiri juga menyembunyikan pantai indah nan elok. Pantai di ujung tenggara pulau Jawa itu bernama Bandealit. Letaknya di bagian paling selatan kecamatan Tempurejo. Pantai bermuara dua ini kaya akan biota laut. Tak sedikit nelayan setempat yang bermuka riang setelah menarik jala. Ikannya banyak, sehat dan besar-besar. Ah, kami selalu kemlecer jika bercerita tentang keindahan alam Bandealit ini. Kami mau kesana, ya! Kami segera kesana.
Truk itu mampu juga mengangkut satu motor Honda Prima dan dua puluh enam pemuda desa. Kami, laki-laki yang terdiri dari berbagai kalangan ini memang sepakat menaiki truk, mobil bak yang sebenarnya lebih sering digunakan mengangkat batu. Tujuan utama kami adalah Bandealit. Maka tak menjadi soal walaupun kami menaiki truk, mengingat medan menuju kesana tidaklah mudah dan sangat menantang adrenalin. Mobil metic jangan kesana kalau tak ingin peyok semua. Setelah perut kenser bergoyang geronjal di dalam truk selama tiga jam, akhirnya sampai juga kami di Bandealit jam 11 siang hari Jumat 16 Agustus 2013.
Seperti inilah wajah Bandealit, elok dan natural :
Dua puluh enam pemuda desa. Ya, kami ber-dua-puluh-enam ini masing-masing adalah pribadi berbeda dari latar belakang berbeda pula. Ada yang guru, ada yang siswa. Ada yang mahasiswa, ada yang pekerja. Ada juga dokter dan perawat muda. Pun ustadz mahir dan arsitek juga. Terakhir kami punya emas istimewa, dia adalah sang petualang hutan pengarung lautan yang fasih mengaji. Kami menamainya Bolang. Ia lihai berenang, jago menangkap ikan dan cepat sekali menguasai medan. Di bandealit, dalam waktu singkat si Bolang segera diaanugerahi sebutan sebagai bapak tulang punggung para pemuda. Hanya dia yang mampu tak tidur semalaman dan berenang di laut lepas demi mencari empat-lima ekor ikan kerapu untuk kami makan bersama-sama. Jago!
Setalah beres memasang tenda, kami menggelar terpal di samping hutan. Terpal itu kami sulap menjadi masjid. Dua puluh enam pemuda desa ini melakukan Sholat Jumat begitu hikmat di atas terpal, disaksikan angin pantai dan gemuruh ombak, juga bakau, bendo dan tanaman hutan. Alam seakan ikut bersyukur atas nikmat Tuhan yang kami rasakan.
Kami bermalam di lepas pantai. Tenda itu berdiri kokoh meski disapu angin laut dan angin darat. Layangan yang kami terbangkan sesekali turun melimpung, namun naik lagi sesuai kekuatan angin diikuti rasa dingin yang menjalar-jalar. Sebelum tengah malam, kami menikmati lepas pantai dengan bernyanyi dan berpantun di sekitar api unggun. Jomblo selalu jadi bahan cengan. Tak punya pacar selalu jadi gojlok-gojlokan. Adalah si Bahar, ABG jomblo yang harus puas-bersabar digojloki sepanjang perkemahan. Pantun andaica-andaici tak habis-habisnya diracik sedemikian rupa hingga membuat Bahar tersipu malu. Malu karena memang tak punya pacar. Perut kami geli menikmati moment ceria itu. Gendang paralon dan gitar kecruk terus menggiringi pantun bertalu. Begitulah bentuk cinta dan keakraban kami. Semua berkumpul menjadi satu, kecuali si Bolang. Sejak sore tadi ia sibuk dengan jaring dan jala. Secepat kilat Bolang berhasil mengambil hati nelayan setempat hingga akhirnya ia mampu bersama mereka mengarungi laut memasang perangkap ikan. Si bolang absen ditengah-tengah api unggun, namun presen ditengah-tengah ombak dingin air laut. Teknik berenangnya tak perlu diragukan lagi. Bolang bergerak cepat memperjuangkan perut teman-temannya yang bakal lapar! Sungguh luar biasa si Bolang ini.
Suara ombak kadang gemuruh dan sesekali sepi digantikan gonggong anjing dan dekur gagak. Malam semakin larut, bintang gemintang kian kemerlip memesona setiap mata yang melihatnya. Juga bulan, meski tak tampil utuh, kehadirannya melengkapi suasana malam Bandealit yang bakal menjadi hikmat. Hikmat dan sejahtera hingga pagi menjelang. Hikmat dan sejahtera karena sejarah yang pernah malam ini torehkan, enam puluh delapan tahun lalu.
Tepat menit pertama 17 Agustus 2013, kami para pemuda berkumpul menyatu di sekitar api unggun. Menancap gagah Sang Saka Merah Putih di sampingnya. Kami berdiri melingkar dan bersikap tegap yang paling busung. Berhadapan dengan Merah Putih adalah berhadapan dengan harga diri sendiri sebagai bangsa. Kalau tak gagah menantang dunia, mau dipandang sebagai apa kita ini oleh bangsa lain? Kami tunjukkan sikap paling hormat kepada bendera yang menyimpan jutaan cerita itu. Merah darah dan putih hati telah dalam tertanam di jiwa pahlawan bangsa pemerjuang masa depan kita. Kini saatnya bagi pemuda untuk melanjutkan semangat itu, memperjuangkan harga diri dan karakter bangsa dengan tak kenal lelah dan tak menyerah oleh segala bentuk pelik persoalan. Kami lakukan upacara. Menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh kebanggaan dan rasa haru. Teks Proklamasi dibacakan, mengheningkan cipta kami ikhlaskan. Doa kebahagiaan kami panjatkan kepada Tuhan, bagi pahlawan dan siapa saja yang dalam hatinya tersimpan semangat juang memerdekakan. Bahwa sebagai pemuda kami berani. Bahwa sebagai pemuda kami siap mengisi kemerdekaan dengan karya juga prestasi. Bahwa sebagai pemuda kami berhak memperjuangkan kemanusiaan entah dengan darah entah dengan pikiran. Semangat kami menyala-nyala! Indonesia Merdeka kami teriakkan dengan gegap gempita. Hingga kamipun termenung sejenak kemudian merunduk. Dengan penuh haru kami lantunkan. Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami..