Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

‘Persatuan Itu di Atas Segala-galanya” Taufiq Pasiak (Dosen FK UNSRAT Manado, Rakyat Indonesia)

12 Juni 2014   00:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:10 171 1

Mendadak saya teringat Bung Karno (BK). Ia menulis dengan amat luar biasa soal ‘bangsa’, soal nasionalisme, dan soal sikap percaya diri yang tinggi sebagai bangsa. Dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marksisme, tulisan pertama dan pembuka buku Di Bawah Bendera Revolusi (djilid pertama, 1959), ia mengutip pendapat sejumlah ilmuwan dan sastrawan, lalu memberikan suatu penekanan penting: “bagaimana djuga bunjinja keterangan-keterangan jang telah diadjarkan oleh pendekar-pendekar ilmu jang kita sebutkan di atas tahadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis menimbulkan suatu rasa pertjaja akan diri sendiri, rasa jang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perdjoeangan menempuh keadaan-keadaan, jang mau mengalahkan kita” (halaman 3-4). Tulisan ini dibuatnya tahun 1926,  sekira hampir 20 tahun sebelum ia merumuskan Pancasila. Pendiri bangsa ini tampaknya jauh-jauh merindukan suatu nasionalisme, suatu keadaan sebangsa, suatu perasaan senasib yang diikat oleh kesamaan-kesamaan budaya mereka. Diakhir tulisan ia menyatakan “Kita harus bisa menerima; tetapi kita djuga harus bisa memberi. Inilah rahasianja Persatuan itu. Persatuan tidak bisa terdjadi kalau masing-masing fihak tidak mau memberi sedikit-sedikit pula” (halaman 20). BK seorang pejuang pemikir yang jenius. Ia sudah memikirkan tentang pentingnya orang-orang bersatu, pentingnya saling memberi dan saling menerima, dan terutama merasa diri sebagai satu tubuh. Itulah persatuan, kata BK. Ia kemudian memastikan pentingnya persatuan itu dalam Sila ke 3 : Persatuan Indonesia (bukan Persatean Indonesia, seperti pidatonya suatu waktu).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun