Ketika Presiden Jokowi berbicara tentang "Indonesia Emas 2045," rasanya seperti memegang peta menuju negeri impian. Di sana, Indonesia digambarkan menjadi negara maju dengan GDP per kapita setara negara-negara elite dunia, perekonomian tangguh, dan kualitas hidup rakyat yang melonjak jauh lebih baik. Bonus demografi yang memuncak sekitar tahun 2035 juga disebut-sebut sebagai peluang emas untuk merealisasikan mimpi besar ini.
Tapi, mari jujur. Ini bukan pertama kalinya kita diberi visi megah tentang masa depan Indonesia. Pernah dengar "Tinggal Landas 1995"? Kala itu, di era Orde Baru, Presiden Soeharto mencanangkan Indonesia sebagai negara yang siap melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia saat merayakan 50 tahun kemerdekaannya. Namun, apa yang terjadi? Krisis moneter 1997 meluluhlantakkan mimpi itu, bahkan hingga kini kita masih mencoba bangkit dari bayang-bayangnya.
Jadi, wajar jika ada yang bertanya: Apakah Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi lain yang gagal terwujud?
Bonus Demografi: Emas atau Beban?
Memang benar, bonus demografi adalah kesempatan besar. Ketika populasi usia produktif mendominasi, seharusnya roda ekonomi bisa berputar lebih cepat. Namun, bonus ini hanya akan menjadi berkah jika disertai investasi besar-besaran dalam pendidikan, kesehatan, dan keterampilan tenaga kerja.
Tantangannya? Pendidikan di Indonesia masih banyak PR-nya. Akses pendidikan berkualitas belum merata, sementara dunia kerja terus berubah dengan cepat karena teknologi. Jika kita tidak mampu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi era digital dan globalisasi, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana: ledakan pengangguran.
Korupsi: Luka Lama yang Belum Sembuh
Korupsi adalah salah satu "penyakit kronis" yang membuat Indonesia sering tersandung di tengah jalan. Bukannya mendorong percepatan pembangunan, justru dana negara yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, infrastruktur, atau riset malah raib di tangan segelintir orang.
Ironisnya, korupsi tidak hanya terjadi di tingkat elit, tetapi sudah merasuk hingga ke level bawah. Ketika ini terus dibiarkan, mimpi Indonesia Emas bisa jadi hanya akan menjadi sekadar wacana, seperti banyak mimpi besar lainnya yang tak pernah benar-benar sampai di garis akhir.
Budaya Kerja: Semangat yang Harus Diubah
Di sisi lain, ada juga kritik tentang mentalitas kerja sebagian masyarakat Indonesia yang dinilai kurang gigih. Mungkin ini karena budaya paternalistik yang terlalu kuat---di mana banyak orang masih menunggu "pemimpin" atau "atasan" untuk memberikan arah, alih-alih berinisiatif sendiri.
Padahal, negara maju membutuhkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan berani mengambil risiko. Semangat inilah yang harus ditanamkan sejak dini, baik di sekolah, komunitas, maupun keluarga.
Apakah Harus Menunggu 2095?
Mimpi Indonesia Emas 2045 adalah janji yang besar. Tapi seperti pepatah lama: "Janji adalah utang." Jika generasi sekarang tidak bekerja keras untuk membayar utang itu, siapa yang akan melakukannya? Apakah kita rela menyerahkan mimpi ini ke generasi berikutnya dan menunggu hingga tahun 2095?
Harapannya, kali ini kita tidak hanya terbuai oleh narasi indah tanpa fondasi yang kokoh. Karena mimpi saja tidak cukup; ia butuh aksi nyata. Dan aksi nyata itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi seluruh rakyat Indonesia---termasuk Anda dan saya.
Indonesia Emas 2045 bukan soal kapan, tetapi soal bagaimana kita mempersiapkannya dari sekarang.