Pada tahun 2019, narasi "Ganti Presiden" menjadi sorotan di panggung politik Indonesia. Gerakan ini didukung oleh sebagian kelompok masyarakat yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan menginginkan perubahan. Mereka mengusung tokoh alternatif untuk memimpin bangsa, dengan dua figur utama yang muncul: Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Namun, lima tahun kemudian, meskipun cita-cita mereka mengganti Jokowi dengan Prabowo telah terlaksana, tak semua pihak dari kelompok ini merasa puas, terutama karena Anies Baswedan gagal mencapai kursi kepresidenan.
1. Cita-Cita yang Terwujud Setengah Jalan
Bagi banyak pendukung gerakan "Ganti Presiden 2019", Prabowo adalah simbol perlawanan terhadap kepemimpinan Jokowi. Prabowo yang pernah maju dalam dua kali Pilpres sebelumnya (2014 dan 2019) selalu dianggap sebagai alternatif utama yang kuat. Namun, beberapa kelompok dalam gerakan ini juga melihat Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, sebagai pemimpin dengan visi yang lebih dekat dengan aspirasi mereka---khususnya dalam hal retorika agama, populisme, dan pandangan kebijakan tertentu.
Ketika akhirnya Prabowo berhasil mencapai kursi kepresidenan, bukan Anies, muncul reaksi campur aduk di kalangan pendukung gerakan "Ganti Presiden". Mereka telah berhasil dalam tujuan besar mengganti Jokowi, tetapi tidak sepenuhnya dengan sosok yang mereka harapkan. Kekecewaan tersebut sebagian besar dirasakan oleh kelompok yang mendukung Anies Baswedan dengan harapan bahwa dia akan menjadi tokoh yang lebih ideal untuk membawa perubahan yang mereka inginkan.
2. Mengapa Mereka Tidak Puas?
Tidak dapat disangkal, Anies Baswedan memiliki pendukung yang kuat dan loyal. Banyak dari mereka adalah bagian dari gerakan "Ganti Presiden" yang melihat Anies sebagai simbol oposisi terhadap elit politik lama. Dalam pandangan mereka, Anies membawa semangat perubahan dengan pendekatan yang lebih inklusif secara agama, dan lebih peduli terhadap kelompok-kelompok yang selama ini merasa terpinggirkan. Namun, Prabowo memiliki gaya yang berbeda dan pandangan yang lebih moderat dalam beberapa isu, terutama sejak ia mulai berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi pada akhir masa jabatan kedua.
Ketika Prabowo akhirnya memenangkan kursi presiden, pendukung Anies melihat kemenangan ini sebagai kemenangan politik yang ambigu. Mereka merasa bahwa Prabowo tidak sepenuhnya mewakili nilai-nilai yang diperjuangkan Anies, baik dari sisi kebijakan maupun pendekatan politik. Bagi mereka, Prabowo lebih mendekat ke arah kompromi dan pragmatisme, sementara Anies lebih dianggap sebagai tokoh idealis yang memperjuangkan prinsip-prinsip moral dan agama tertentu.
Lebih dari itu, kegagalan Anies dalam mencapai kursi kepresidenan, setelah menjadi salah satu calon yang diunggulkan, membuat beberapa pendukungnya merasa dikhianati oleh sistem politik. Ada kekecewaan yang mendalam bahwa narasi yang mereka bangun tidak berhasil menghasilkan perubahan yang mereka bayangkan.
3. Apakah Mereka Senang dengan Gibran Sebagai Wakil Presiden?
Penunjukan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai wakil presiden di bawah pemerintahan Prabowo juga memicu reaksi yang beragam. Gibran, yang relatif baru di dunia politik nasional, dinilai oleh sebagian kalangan sebagai simbol kesinambungan kekuasaan Jokowi dalam politik Indonesia. Meskipun Gibran memiliki track record yang baik sebagai Walikota Solo, beberapa kelompok yang dulu mendukung gerakan "Ganti Presiden" merasakan kehadiran Gibran sebagai wakil presiden sebagai bentuk ironis dari apa yang mereka perjuangkan.
Bagi mereka yang menolak dinasti politik, Gibran sebagai wapres adalah kelanjutan dari pengaruh keluarga Jokowi. Meskipun mereka berhasil mengganti Jokowi sebagai presiden, mereka merasa bahwa dinasti politik tetap bercokol di puncak kekuasaan. Namun, bagi kelompok yang lebih pragmatis, kehadiran Gibran bisa dilihat sebagai jembatan untuk menjaga stabilitas politik dan kontinuitas dalam pemerintahan.
Secara umum, kelompok yang mendukung Prabowo mungkin lebih cenderung menerima Gibran sebagai wapres karena melihatnya sebagai pilihan yang strategis. Namun, bagi pendukung Anies, kehadiran Gibran dapat dianggap sebagai kompromi terhadap cita-cita perubahan radikal yang mereka bayangkan.
4. Apakah Prabowo Akan Mendapatkan Perlakuan yang Sama dengan Jokowi?
Pertanyaan menarik muncul terkait apakah Prabowo akan mengalami kritik serupa seperti yang dialami oleh Jokowi selama masa kepemimpinannya. Sebagian dari kelompok "Ganti Presiden" dikenal vokal dalam mengkritik Jokowi, baik dari sisi kebijakan maupun gaya kepemimpinan. Apakah Prabowo juga akan menghadapi kritik serupa?
Hal ini sangat tergantung pada bagaimana Prabowo mengelola ekspektasi kelompok-kelompok yang mendukungnya. Jika Prabowo dianggap tidak menjalankan kebijakan yang sejalan dengan harapan mereka, tidak menutup kemungkinan dia juga akan menghadapi kritik tajam. Apalagi, beberapa pendukung Anies mungkin akan terus memantau kebijakan Prabowo dengan cermat, dan jika ada kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan visi mereka, mereka tidak segan-segan untuk mengkritik.
Namun, mengingat karakter Prabowo yang lebih tegas dan gaya komunikasi yang berbeda dibandingkan dengan Jokowi, ada kemungkinan bahwa dinamika kritik akan sedikit berbeda. Prabowo, yang dikenal sebagai figur militer yang kuat, mungkin akan lebih responsif terhadap kritik dengan pendekatan yang lebih langsung. Akan tetapi, dalam era media sosial yang terbuka, siapa pun yang berada di kursi kekuasaan tidak akan luput dari sorotan publik.
5. Masa Depan Politik: Tantangan Prabowo dan Harapan Para Pendukung
Prabowo kini berada di posisi yang sangat strategis. Sebagai presiden, ia memikul tanggung jawab untuk menyatukan berbagai elemen politik dan masyarakat yang terpecah setelah Pilpres 2024. Bagi pendukung gerakan "Ganti Presiden", masa depan politik Prabowo akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu memenuhi janji-janji perubahan yang selama ini mereka harapkan. Jika tidak, bukan hal yang mustahil bahwa gelombang kritik yang pernah diarahkan pada Jokowi akan berbalik menghampirinya.
Di sisi lain, pendukung Anies Baswedan mungkin akan tetap menjadi kelompok oposisi yang kritis, terus mengingatkan pemerintah akan janji-janji perubahan yang tidak tercapai. Mereka mungkin tidak akan puas sepenuhnya dengan kepemimpinan Prabowo, tetapi mereka juga akan menunggu dan melihat bagaimana Prabowo membuktikan diri dalam lima tahun ke depan.
Pada akhirnya, dinamika politik Indonesia selalu penuh dengan kejutan. Baik Prabowo, Gibran, maupun kelompok-kelompok politik yang ada harus terus beradaptasi dengan perubahan tuntutan publik dan mengelola ekspektasi yang kadang-kadang saling bertentangan.
Akhirnya pada 20 Oktober 2024 ini, cita-cita Ganti Presiden yang dicanangkan lima tahun lalu telah tercapai. Tetapi ketika presiden penggantinya telah berubah haluan dan sosok yang digadang-gadang oleh kelompok ini malah untuk sementara tenggelam dalam dinamika politik yang sulit untuk diramalkan, makan ketidakpuasan inti akan terus menghantui di dalam kalbu.
Mungkinkan gerakan Ganti Presiden akan kembali muncul pada 2029 nanti dengan narasi yang serupa tapi tak sama?
Mari kita nantikan dengan hati yang riang gembira. Untuk hari ini, yuk kita rayakan pelantikan Presiden Prabowo dengan pesta rakyat dan gula gula transportasi umum satu Rupiah.
Selamat menikmati.