Salah satu hal yang hukumnya wajib kalau kita berwisata atau berkunjung ke suatu kota atau negara adalah berbelanja cendramata atau pun pernak-pernik khas negara atau tempat tersebut. Karena itu, setelah beberapa hari berkeliling dan mengunjungi beberapa tempat menarik di Kigali , dengan diantar Jean-Claude, kami sempatkan juga berbelanja dan berburu souvenir khas Rwanda.
Dalam perjalanan, kami sempatkan mampir ke pom bensin untuk mengisi BBM dan membeli makanan dan minuman kecil diwarung dekat pom bensin tersebut.Barang belanjaan berupa beberapa minuman dalam kemasan itu ternyata tidak dibungkus dalam plastik seperti umumnya kita belanja di toko atau warung di Indonesia melainkan dibungkus dalam kemasan kertas berwarna coklat. Pada saat itu saya tidak terlalu memperhatikan, barangkali toko itu sedang kehabisan kantung plastik, fikir saya dalam hati.
Sesampainya di Caplaki Handicraft Centre, Jean Claude memarkir kendaraan dan kami segera masuk ke dalam salah satu toko. Seorang gadis penjual berkulit hitam manis menyambut dengan ramah. Seluruh barang dagangan ditawarkan dan secara tidak sengaja kami pun sudah setuju untuk membeli sebuah T-shirt seharga 6000 Franc Rwanda.
Tiba-tiba saja Jean-Claude berkata bahwa harga tersebut terlalu mahal dan kemudian berbicara dalam bahasa Kinyarwanda kepada gadis tadi. Terlihat mereka agak sedikit ribut dan akhirnya kami pun tidak jadi membeli dan pindah ke toko lainnya. Sang gadis penjual pun terlihat merengut dan bermuka masam karena tidak berhasil menjual barang dagangannya.
“Biarkan saya saja yang menawar harga, karena kalau tidak,pasti dikasih harga tinggi”, demikian pesan Jean Claude.Banyak sekali barang-barang yang dipajang di toko ini, terutama baju Afrika, T shirt, hiasan anting, gelang, dan kalung dari kayu yang meriah warnanya khas Afrika. Hiasan dinding, dan patung-patung hewan dari kayu.
Akhirnysa saya memilih T-shirt bergambar gajah bertuliskan Rwanda dan sebuah baju khas Afrika yang ramai warna nya. Sebuah hiasan dinding bergambar “mountain gorilla” yang menjadi ikon satwa liar Rwanda juga tidak dilewatkan untuk dibeli . Harganya pun cukup memuaskan karena diserahkan kepada pemandu wisatadadakan dari Kigali yang cukup gesit dan pandai menawar ini.
Ketika sedang asyik memilih barang-barang belanjaan, tiba-tiba hujan turun dengan cukup lebat dan malangnyaair hujan pun masuk menetes dari langit-langit yang bocor.Penjual dan seorang asistennya sibuk menutupi sebagiandagangan dengan koran dan kain terpal.Akhirnya hujan pun reda dan acara belanja dilanjutkan kembali.
Ketika belanja selesai,semua belanjaan ternyata hanya dimasukan ke dalam beberapa kantung kertas berwarna coklat muda.Karena merasa tidak biasa membawa barang dalam kantung kertas, saya sempat meminta kantung plastik kepada wanita penjual yang ramah tadi. Dia hanya tersenyum dan berkata bahwatidak ada kantung plastik di Rwanda.
“Demi kelestarian lingkungan, kantung plastik sudah dilarang di Rwanda sejak 2009.”, Jean Claude menjelaskan ketika kami sudah berada kembali di kendaraan dan melanjutkan perjalanan menuju sebuah restoran Cina yang ada di salah satu bukit terindah di kota Kigali.
Wah, setelah mengembara kelebih dari limapuluh negara di pelosok jagad ini, baru lah saya bertemu dengan kebijakan pemeritah yang cukup ekstrim dan berani. Untuk menyelamatkan dan medukung kelestarian lingkungan, kantung plastik tiba-tiba menjadi barang haram di negri dengan seribu bukit dan sejuta senyum ini.
Sementara di Indonesia kita biasa berpestapora dengan kantung plastik, ternyata di negri kecil yang terletak nun jauh di pedalaman Afrika TImur ini, pemerintah dan rakyatnya sudah lebih sadar akan kelestarian lingkungan!.
Omong-omong soal pengelolaan kantung plastik, tuntutlah ilmu walau sampai ke negri Rwanda!