“Reka dutegure urubyeruko rw’ejo hazaza , hato ababyeyi b’icyogihe batazahuran’ingorane nk’izo nahuye nazo”.Kata-kata dalam bahasa Kinyarwanda ini tertera dengan anggunnya di luar gedung Kigali Genocide Memorial Centre yang baru saja saya kunjungi. Menurut Jean- Claude , artinya kira-kira sebagai berikut: “Mari kita persiapkan generasi yang akan datang agar mereka tidak mengalami apa yang telah kita alami”
Mendengar kata Rwanda, sebagian besar dari kita akan ingat akan sebuah film yang berjudul Hotel Rwanda yang menggambarkan kekacauan di negri di Afrika Timur itu sewaktu terjadinya pembantaian ataupun genosida terhadap suku Tutsi. Dimana dalam waktu sekitar tiga bulan yang kelam di tahun 1994 itu lebih dari 800 ribu orang, atau ada yang memperkirakan sekitar sejuta orang telah dibantai secara sistematis dan merupakan tragedi kemanusiaan yang terburuk dalam sejarah benua Afrika.
Karena itu dalam agenda perjalanan ke Rwanda, mengunjungi Kigali Memorial Centre merupakanhal yang wajib bagi setiap pengunjung ke Kigali.Siang itu setelah hujan reda dan selesai berbelanja souvenir di Caplaki Handicraft Centre, Jean-Claude segera mengarahkan kendaraan kami menuju kawasan Gisozi dengan menyusuri Avenue de Gendarmarie.
Di kejauhan terpampang pemandangan kota Kigali yang indah dengan beberapa bukit yang mempesona. Barisan rumah-rumah bersusun menjadi pemandangan yang khas di setiap punggung bukit. Sementara di salah satu bukit terlihat sebuah bangunan pencakar langit yaitu Kigali City Tower yang terletak di Rue du Mont Kabuya.Menara ini merupakan gedung tertinggi di Kigali dan merupakan kombinasi pusat pertokoan dan perkantoran.
Kami mendekati museum yang halamannya luas dan ditumbuhi pepohonan dengan gedung utama berwarna krem yang kelihatan murung.Di resepsionis tertulis ucapan “Welcome to Kigali Genocide Memorial Centre” dan juga daftar harga kalau kita ingin menyewa audio guide atau pun pemandu wisata. Harga special diberikan untuk warga negara “East African Community” dan juga pelajar atau mahasiswa. Untuk ijin membuat foto di dalam museum kita diwajikan membayar USD 20, sedangkan biaya masuk sebenarnya gratis atau kita dapat memberikan sumbangan suka rela di dalam sebuah kotak dari kaca dimana terdapat banyak lembaran uang kertas dalam berbagai mata uang.
Museum ini dibuka pada 2004 dalam rangka memperingati 10 tahun peristiwa genosida di Rwanda. Suasanahening dan muram, Maklum di tempat inilah terkubur jasadsekitar 250 ribu orang korban salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah negri dengan seribu bukit ini.
Di ruang pertama ditampilkan suasana sebelumgenosida dimana Rwanda digambarkan sebagai negri yang indah dan damai, penuh dengan bukit, gunung, hutan, dan danau , Sementara rakyatnya adalah anak-anak yang riang gembira penuh tawa danpasar nya penuh dengan buah-buahan, sementara penabuh gendang dan penari menghibur rakyat yang terdiri dari pengrajin yang handal, Ditambahkan juga bahwa Rwandaadalah negri yang kaya dan subur dengan iklim yang menyenangkan dan telah menjadi rumah bagi seluruh rakyat untuk selama berabad-abad, DImana rakyat Rwanda adalah satu dan juga berbicara satu bahasa dan memiliki satu sejarah yang sama.
Dalam ruang episode genosida, ditampilkan perubahan politik yang mengakibatkan rakyat terbelah, kebencian merebak dan memuncak pada pecahnya pembantaian yang dimulai denganblokade jalan-jalan di Kigali pada 7 April 1994. Pada saat itu, mulailah suku Tutsi menjadi target pengejaran untuk dibantai secara sistematis.
Suku Hutu dan Tutsi sudah sejak ratusan tahun hidup damai di Rwanda dan Burundi. Dan sebenarnya keduanya hampir tidak dapat dibedakan karena memiliki ciri fisik , bahasa, dan bahkan kepercayaan yang sama.Salah satu versi tentang penegasan kembaliidentitasHutu dan Tutsi dibuat oleh pemerintah kolonial Belgia pada tahun 1932 , bersamaan dengan pembuatan kartu identitas bagi warga Rwanda. Pada saat itu, mereka yang dianggap kaya karena memilikisepuluh sapiatau lebih digolongkan sebagai Tutsi sedangkan mereka yang lebih miskin karena hanya memiliki kurang dari sepuluh sapi diangapsebagai Hutu.
Di sini dipamerkanfoto-foto korban, alat-alat yang digunakan untuk membantai dan juga tengkorak serta tulang belulang sebagian dari 250 ribu jiwa yang terbantai di tempat ini. Korban tidak memandang usia karena baik dewasa , anak-anak, dan orang tua juga dibantai dengan kejamnya. Sementara sekitar 500 ribu wanita telah mengalamipelecehan seksual dan perkosaan massal.
Walaupun sebagaian besar korban terdiri dari suku Tutsi, yang mengakibatkan hanya sekitar 15 persen suku Tutsi yang selamat setelah peristiwa kelam ini, ternyata sebagian suku Hutu pun ikut menjadi korban, yaitu mereka yang moderat dan tidak mau ikut membantai tetangga atau pun saudara yang termasuk suku Tutsi.
Di dalam gedung ini juga terdapat ruang khusus yang menceritakan tentang korban yang masih kanak-kanak. Ruang ini dilengkapi dengan foto anak-anak yang lucu dan lugu tetapi harus kehilangan hidupnya karena peristiwa kejam yang menyedihkan ini.Hati dan jiwa terasa sangat tersentuh ketika menyaksikan semua ini sehingga kami pun cepat-cepat meninggalkan ruangan untuk pergi ke halaman di mana terdapat tulisan dalam bahasa Kinyarwanda yang menyejukan tadi.
Perjalanan dilanjutkan menuju BurialChamber dimana dari balik kaca kita dapat menyaksikan makam yang ditutupi kain yang bergambarkan salib berwarna putih dan ungu. Banyak juga terdapat karangan bunga yang bertuliskan kata-kata “ kami tidak akan pernah melupakan engkau” .
Berkunjung ke tempat ini memang sangat menyesakan dada, mengingat betapa rakyat Rwanda yang ramah dan mudah tersenyum pernah melewati satu babak yang sangat kelam dimana saudara dan tetangga bisa saling bantai dikarenakan hanya perbedaan antara Hutu dan Tutsi yangdiciptakan oleh penjajah berdasarkan jumlah sapi yang dimiliki.
Semoga mejadi pelajaran bagi kita semua dan tidak pernah terulang lagi!
Foto: Taufikuieks & Budiono Richwan
Kigali, November 2012