Gerakan tersebut mengklaim bertujuan untuk melindungi Presiden Sukarno dari rencana kudeta yang konon sedang direncanakan oleh "Dewan Jenderal." Namun, peristiwa ini dengan cepat ditanggapi oleh Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Pada 1 Oktober pagi, Soeharto memimpin operasi pemulihan kekuasaan, menguasai media, dan menyatakan situasi terkendali. Setelah peristiwa tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang di balik G30S. Para pemimpin PKI, termasuk ketua PKI, DN Aidit, menjadi target pencarian, dan PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tuduhan ini didasarkan pada fakta bahwa beberapa anggota dan simpatisan PKI terlibat dalam aksi-aksi tersebut, serta adanya hubungan ideologis antara PKI dan gerakan komunisme internasional. Peristiwa G30S/PKI memicu gelombang aksi kekerasan terhadap para anggota dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia. Ratusan ribu hingga jutaan orang yang dicurigai memiliki hubungan dengan PKI atau ideologi komunisme mengalami penangkapan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Tahun 1965-1966 menjadi periode kelam bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjadi korban dari tragedi tersebut.
Pada saat yang sama, Soeharto memanfaatkan momentum ini untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Sukarno. Melalui proses politik dan dukungan militer, Soeharto akhirnya menjadi presiden pada tahun 1967 dan memimpin Indonesia di bawah rezim Orde Baru selama lebih dari tiga dekade. Peristiwa G30S/PKI hingga kini masih menjadi topik sensitif di Indonesia. Dalam era reformasi, banyak pihak yang mendesak untuk membuka kembali penyelidikan terhadap peristiwa ini, termasuk memberikan keadilan bagi para korban dari berbagai pihak. Film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI pernah menjadi tontonan wajib pada era Orde Baru, yang memperkuat narasi resmi dan membentuk pandangan masyarakat terhadap PKI selama bertahun-tahun.
G30S/PKI bukan hanya catatan sejarah tentang konflik ideologis di Indonesia, tetapi juga pengingat tentang bahaya manipulasi politik dan pentingnya keterbukaan untuk rekonsiliasi.