Di sebuah kota kecil yang tenang, tinggallah seorang pemuda bernama Rendra. Teman-temannya punya julukan khas untuknya:Si Plinplan. Bukan tanpa alasan. Rendra memang terkenal sulit membuat keputusan. Dari hal kecil seperti memilih rasa es krim hingga hal besar seperti menentukan karier, semuanya jadi drama panjang yang melelahkan.
Suatu pagi yang cerah, Rendra duduk di sebuah warung kopi sederhana di dekat rumahnya. Ia memandangi daftar menu sambil mengernyitkan dahi, berulang kali membaca nama-nama minuman yang sudah ia hafal.
“Mau pesan apa, Ren?” tanya Sari, sahabatnya yang sabar menemani.
“Hmm… aku nggak tahu. Kopi susu atau teh tarik, ya? Kopi susu enak, tapi teh tarik juga…” Rendra menggantungkan kalimatnya.
Sari mendesah pelan, lalu memanggil pelayan. “Mas, satu kopi susu dan teh tarik. Kalau dia nggak minum salah satunya, aku yang habisin.”
Rendra terkekeh canggung. “Maaf, Sar. Aku emang susah banget kalau disuruh milih.”
“Itu udah kayak nama tengahmu,” balas Sari sambil melipat tangan di depan dada.
Hari itu, bukan cuma soal minuman yang membuat Rendra bimbang. Ia juga tengah dihadapkan pada dilema besar: tawaran kerja di dua perusahaan. Yang satu, perusahaan besar dengan gaji tinggi tapi akan memaksanya pindah ke kota lain. Yang lain, perusahaan kecil di dekat rumah yang nyaman, tapi gajinya pas-pasan.
“Menurut kamu, aku harus pilih yang mana, Sar?” tanyanya sambil menatap sahabatnya penuh harap.
Sari memutar bola matanya. “Ren, itu hidup kamu. Aku nggak bisa selalu ambilin keputusan buat kamu. Kalau kamu terus kayak gini, kapan kamu belajar bertanggung jawab atas pilihan sendiri?”
Rendra terdiam. Kata-kata Sari menusuknya tepat di hati.
Setelah warung kopi itu sepi, Sari pamit duluan. “Ren, aku yakin kamu bisa. Tapi kamu harus percaya sama dirimu sendiri,” katanya sebelum pergi.
Sepeninggal Sari, Rendra duduk termenung. Ia mencoba mengingat bagaimana hidupnya dipenuhi keputusan yang selalu ia serahkan pada orang lain. Ia bahkan pernah hampir tidak jadi menghadiri pesta ulang tahun temannya hanya karena bingung memilih baju.
Malam itu, Rendra memutuskan sesuatu yang kecil namun penting: ia akan memilih sendiri apa pun keputusannya kali ini.
Seminggu kemudian, Rendra bertemu Sari di tempat yang sama. Ia terlihat lebih ceria dari biasanya.
“Gimana, kamu udah mutusin soal kerjaan itu?” tanya Sari.
Rendra tersenyum bangga. “Udah. Aku pilih yang bikin aku nyaman, walaupun gajinya kecil. Aku sadar, aku lebih suka tinggal di sini, dekat orang-orang yang aku kenal. Aku nggak mau ngejar sesuatu yang bikin aku stres.”
Sari tersenyum lebar. “Nah, gitu dong! Aku bangga sama kamu, Ren. Akhirnya si plinplan bikin keputusan sendiri.”
Rendra tertawa. “Yah, pelan-pelan. Tapi kali ini aku belajar, nggak semua keputusan harus sempurna. Yang penting, aku nggak terus-terusan lari dari pilihan.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Rendra merasa lebih percaya diri. Meski ia tahu sifat plinplannya tidak akan hilang begitu saja, ia sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, adalah langkah menuju versi dirinya yang lebih baik.