Pada suatu siang tepat saat matahari berada di atas kepala, seorang lelaki baru saja mendapat rezeki. Ia bergegas pulang, mengejar waktu untuk bisa menunaikan shalat zuhur di masjid kampungnya.
Siang itu matahari sangat terik, membakar tanpa ampun permukaan. Lampu merah menyala. Sang lelaki berhenti di barisan paling depan sebelum garis marka, tepat di sisi tiang lampu merah.
Di tiang lampu merah itu tampak seorang anak lelaki, perkiraan usianya belum sampai usia sekolah. Masih kecil. Duduk bersandar pada tiang lampu merah. Kulitnya hitam dengan baju kedodoran yang memudar. Seperti kelelahan setelah setengah hari menodong untuk barang sedikit saja berbagi rejeki kepada mobil-mobil yang bagus itu yang bahkan ia belum pernah naiki. Lima ratus, alhamdulillah. Seribu rupiah, senang. Lima ribu rupiah, senang bukan kepalang.
Lelaki yang juga lelah ini memerhatikan dengan seksama, menerawang pada banyak sudut pandang. Seperti otomatis, tiba-tiba saja tangannya merogoh saku bajunya, mengeluarkan amplop putih.
“Adek, rumahnya dimana? Ini buat kamu. Kasih ke Ibu kalian, ya.” Sambil menyodorkan amplop putih berisi lembaran uang bergambar dua proklamator negara ini.
Ternyata meski telah tiada, dua bapak bangsa ini masih ramah menyapa anak negeri yang terlantar.
“Jauh, Om. Apa ini, Om?” timpal anak lelaki tersebut.
“Ini uang buat kalian, tapi dikasih ke Ibu, ya.”
“Uang apa ini, Om? Enggak mau, ah, Om. Nanti enggak laku.”
Sang lelaki terkejut dengan jawaban dan ekspresi anak tersebut. Bukan mereka menolak. Tapi mereka tak pernah melihat uang yang begini. Disangka tak laku. Tak pernah. Tak biasa.
***
Hening.
Masih 60 detik lagi sebelum lampu hijau menyala.
"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara." (Pasal 34 (1) UUD 1945)