Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

SK Bupati Bukan Kitab Suci yang Tak Bisa Diganti

22 Desember 2011   03:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 416 0
Miris rasanya mencermati perkembangan terakhir aksi besar-besaran massa yang menduduki Pelabuhan Sape Bima-NTB sejak sabtu (17/12/11) lalu. Aksi ini diperkirakan diikuti lebih dari 5.000 orang, masyarakat memblokade dermaga, sehingga arus penyebrangan Ferry terhenti. Padahal seperti diketahui bersama bahwa pelabuhan Sape adalah semacam “Pintu Kehidupan” bagi masuk dan tersuplainya kebutuhan pokok bagi Propinsi NTT, khususnya Pulau Flores (Labuan Bajo) dan Pulau Sumba (Pelabuhan Waikelo). Kejadian ini juga telah menyita perhatian nasional, terbukti dengan gencarnya pemberitaan atas peristiwa ini baik oleh media elektronik, media cetak, maupun media online.

Aksi massa ini ditengarai berawal dari keresahan dan kemarahan masyarakat  yang berawal dari SK Bupati Bima nomor: 188.45/357/004/2010 tentang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi kepada PT SMN dengan cakupan luas wilayah tambang dalam SK tersebut adalah 24.980 Ha yang terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Sape, Lambu dan Langgudu.

Sebenarnya ini bukan aksi pertama, eksalasi gerakan penolakan atas tambang di kabupaten Bima sudah berlangsung 2 tahun terakhir. Wera pernah bergolak dengan aksi tolak tambang pasir besinya, Parado pernah berkobar atas penolakan warganya terhadap tambang emasnya, Sape, Langgudu, (yang terkonsentrasi) di Lambu pun pernah membara pada bulan Februari awal tahun lalu yang berakibat ludesnya kantor Camat Lambu serta beberapa kendaraan yang terparkir diganyang si Jago Merah.

Ada hal yang bagi kita cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut terkait pernyataan Bupati Bima (20/11/12) seperti yang diberitakan oleh media:

"Mencabut SK Bupati terkait Pertambangan Lambu tidak bisa kami lakukan, sebab UU sangat jelas mengatur itu, kecuali menghentikan sementara waktu dan UU menetapkan 1 tahun untuk penghentian sementara atas pertambangan yang dimaksud…"

Berkaitan statement tersebut, menurut hemat kami ada semacam “pengelesan” dalam pernyataan Bupati. Dalam kedudukannya sebagai suatu kebijakan tertulis, SK Bupati pada dasarnya dapat digolongkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Ini bukanlah sebuah putusan yang bersifat final dan tidak bisa dicarikan upaya hukum atasnya, baik berupa pencabutan SK Lama dan digantikan oleh SK baru, atau jika perlu me-PTUN-kan SK tersebut.SK Bupati bukanlah semacam “kitab suci” atau Firman Tuhan yang tidak bisa dianulir jika memang ditemukan sesuatu yang menyimpang dari Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (good governance). Sehubungan dengan kewajiban melaksanakan pelayanan publik bagi pemerintah, cukuplah Sipayung kita jadikan argumen; “Setiap orang mempunyai hak begitu juga kewajiban. Sebagaimana seorang warga negara, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan yang baik dari pemerintah. Tiap orang juga berhak memperoleh perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang dari pejabat tata usaha negara sendiri.

Hukum, dalam hal ini hukum administrasi negara dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang berwujud SK Bupati Bima Nomor 188.45/357/004/2010 dalam konteks bidang pelayanan publik tidak boleh dipahami sebagai entitas normatif yang objektif semata, tetapi harus dipahami sebagai dependen variable dari suatu proses sosial politik yang melibatkan sejumlah aktor individu yang berpartisipasi dalam suatu proses.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun