Aku melihatnya berdiri kelelahan di depan pintu rumah dinas. Dia berdiri terhuyung menyambutku yang sedang membukakan pintu. Tubuhnya sedikit gemetar menahan terpaan dingin malam.
“Dokter?” tanyanya ragu-ragu.
Aku menatapnya, lalu mengangguk pelan di tengah serbuan rasa kantuk yang masih menyerang.
“Anak saya sakit keras, dokter. Tolonglah saya…”, pintanya nyaris tak terdengar. Suaranya memendam duka.
Panca inderaku serentak siaga. Dengan mata yang masih memerah dan sedikit kabur, kuedarkan pandangan mencari-cari sosok pasien yang dimaksud. Pandanganku pun tertumbuk pada tubuh pucat yang berada dalam gendongannya. Tubuh mungil seorang anak lelaki. Anaknya.
“Cepat bawa ke Puskesmas!” perintahku segera. Lelaki itu menuruti, seketika pergi menembus kegelapan malam menuju Puskesmas sambil menggendong anaknya.
Aku berbalik masuk sejenak mengambil peralatan medis, lalu bergegas keluar dan membangunkan perawat untuk membantu.
Lelaki itu masih menggendong anaknya saat aku membuka pintu Puskesmas dan menyuruhnya masuk. Kubiarkan dia meletakkan anaknya di sebuah ranjang kusam di salah satu sudut ruang perawatan.
Ranjang itu tersusun berjajar, di atas lantai kayu yang berderit-derit saat diinjak. Sebagian lantai itu berlubang. Biasanya keluarga pasien sengaja melubanginya untuk membuang sampah atau kotoran ke bawah lantai. Puskesmas ini berbentuk rumah panggung. Sampah dan kotoran akan tampak berceceran bertumpukan saat kita menjengukkan kepala ke bawah bangunan.
Ruang itu sunyi dan gelap. Tak ada pasien lain yang sedang dirawat. Beberapa tiang penyangga dengan botol infus kosong masih tergantung berantakan. Kasur tipis murahan ditata sekenanya di tiap ranjang. Tanpa seprei. Kumal dan gelap. Entah berapa lama tak tercuci. Sebuah tabung oksigen kecil penuh ukiran karat tergeletak di sudut. Tabung yang kosong tanpa isi. Berkali-kali aku melapor pada kepala Puskesmas untuk segera meminta ganti. Namun entah mengapa tak pernah terealisasi. Mungkin permintaanku itu dianggap terlalu mewah. Entahlah…
Lampu-lampu ruangan kunyalakan. Nyalanya tidak terlalu terang. Bersaing dengan nyala cahaya rembulan yang muram menerobos dari langit malam.
Kini aku bisa melihat lelaki itu beserta anaknya lebih jelas. Percik-percik air membasahi sebagian pakaiannya. Kakinya berselimut lumpur basah yang sebagian mulai mengering, pertanda belum lama menginjak tepian sungai. Mungkin dia baru saja menempuh perjalanan sungai yang panjang. Entah berapa banyak riam yang dilewatinya.
Di sini kudengar ada satu-dua riam yang terkenal ganasnya. Letaknya kira-kira 3-4 jam perjalanan sungai memakai speedboat 40 PK. Yang satu lagi letaknya lebih jauh, di aliran sungai yang lebih sempit ke arah Kepala Jungai, dusun paling ujung di wilayah kecamatan ini. Perjalanan menuju sana adalah pertarungan hidup mati, terutama saat ketinggian air sungai tidak menguntungkan. Bila air sungai terlalu pasang, tonjolan-tonjolan batu cadas tajam yang tersembunyi rapat di bawah permukaan air adalah jebakan penuh maut bagi para pelintas di atasnya. Arusnya kadang demikian kuat hingga menarik dan menghisap setiap perahu yang lewat. Sementara saat air sungai terlalu surut, riam tampak bergejolak hebat hingga arus di atasnya berputaran bagai angin puyuh, siap membanting dan melempar setiap perahu.
Banyak cerita kudengar tentang mereka yang meninggal terjebak riam. Tapi ada pula saksi hidup yang entah bagaimana bisa selamat. Dari merekalah kisah-kisah kengerian itu melegenda. Dan orang-orang pun belajar untuk tunduk pada aturan alam. Tak ada yang mampu melawan kekuatan alam.
Tapi, lelaki yang kutemui ini rupanya tak peduli pada aturan. Ditembusnya sungai seharian di atas longboat tua, seperti yang dituturkannya padaku kemudian, sambil membawa serta anaknya. Dan mereka selamat sampai kemari. Ajaib!
Perawakannya tidak begitu kekar, bahkan cenderung kurus. Umurnya 40-an, atau mungkin lebih muda melihat anaknya yang masih kecil. Wajahnya penuh gurat. Namun gurat kadang menipu, tak selalu terbentuk akibat menuanya usia. Sorot matanya tampak menyimpan kegetiran masa lalu, mungkin juga ketiadaan masa depan.
Jauh-jauh dia kemari, menembus kegelapan hutan, melintasi perbukitan kecil, lalu seharian menyusuri sungai melawan kengerian riam-riam hanya untuk membawa anak lelaki kecilnya yang sakit.
“Saya tak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi…”, ucapnya pelan, namun menyimpan sejuta kecemasan.
Diusapnya lembut tubuh anaknya yang terbaring di ranjang. Demikian pelan gerakannya, seolah menyimpan ketakutan bahwa gerakan yang terlalu keras akan membunuh anak lelakinya dalam sekejap.
“Bapak sendirian saja kemari?” tanyaku. Ah…itu sungguh pertanyaan basa-basi. Jawabannya telah terhampar teramat jelas sedari tadi tanpa perlu kutanyakan.
Dia memandangku sekilas. Tak ada gelengan atau anggukan. Wajahnya kembali menoleh memandang anaknya yang tergolek di ranjang. “Ya, saya sendirian saja, dokter,” gumamnya lemah.
Aku menghela nafas pelan-pelan. Sejenak kuusir rasa pedih yang aneh itu.
Beberapa saat kemudian kudekati tubuh kecil itu, lalu kuperiksa. Kulihat sudut-sudut mulutnya berusaha menyimpan senyuman, meski ketakutan akan kematian masih membayang. Saat kusentuh tubuh mungilnya, ada seberkas cahaya menyembul dari sorot kedua matanya, sebuah cahaya kehidupan. Keraguannya pelan-pelan memudar.
Ahh…padahal aku cuma seorang dokter muda yang bodoh, keluhku dalam hati. Rasanya belum lama aku lulus dan mengucapkan sumpahku, seolah baru beberapa hari yang lalu. Padahal, sebenarnya, sudah lewat dua tahun lalu. Hanya demi sebuah idealisme usang, aku memaksakan diri pergi ke tempat terpencil ini. Idealisme yang di zaman ini biasanya jadi bahan tertawaan.
Anganku sejenak melayang. Mengenang. Terkadang, di saat waktu membuatku jenuh dan terbenam dalam sunyi, aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa yang sedang kulakukan di sini? Untuk apa aku kemari?
Tak ada hiburan, tak ada teman, tak ada handai taulan, bahkan tak ada kepastian. Yang kutemukan setiap hari hanyalah kemiskinan, yang setiap lima tahun sekali suara-suaranya selalu dijadikan rebutan, namun setelah itu terus dilupakan di tengah degup pembangunan. Yang kutemukan hanyalah potret kemuraman sebuah kecamatan, yang hingga sepuluh tahun lagi sepertinya hanya bisa bermimpi tentang sebuah jalan, yaitu jalan penghubung kecamatan ini dengan kabupaten. Namun, itupun tampaknya terlalu muluk-muluk dijadikan impian. Sebuah kecamatan tanpa masa depan.
“Sudah berapa lama sakitnya?” tanyaku.
“Dua bulan,” jawab lelaki itu.
“Dua bulan?” tukasku sedikit heran. “Sudah pernah diperiksakan ke mana?”
“Belum pernah, dokter.”
Alisku terangkat mendengarnya. Dulu, pertama kali tiba di sini, jawaban itu akan langsung membuatku terlonjak. Dan biasanya akan segera kuceramahi pasienku dengan penuh kemarahan tentang betapa salah dan berbahayanya penyakit itu, juga betapa cerobohnya kelalaian mereka itu.
Tapi kini, kisah itu terdengar biasa di telinga. Seolah tak ada yang salah. Seolah itu bagian dari cerita keseharian. Dan aku akhirnya menjadi paham, itu bukanlah kelalaian tapi keterpaksaan. Biasanya karena perawat atau bidan yang bertugas di desa itu sedang turun ke kota.
Jangan bayangkan jarak kecamatan kami ke kota seperti jarak di Jawa. Tak ada jalur darat di tempat ini, hanya ada sungai. Perjalanan memakai speedboat dari desa yang terletak di hulu kecamatan menuju kota kabupaten bisa memakan waktu 2 hari, bahkan terkadang lebih.
Maka, tanpa fasilitas laboratorium sederhana, tanpa fasilitas radiologi, dan hanya bermodalkan peralatan dan obat seadanya, serta nurani seikhlasnya, aku berusaha mengobati anak itu.
Ya, karena jatah obat dari Dinas Kesehatan seringkali tak cukup, atau selalu ada obat yang sedang kosong. Sebagian obat emergensi memang terpaksa kami beli dengan uang sendiri, dan entah kapan para pasien mampu mengganti. Kisah serupa dialami pula teman-teman sejawat di kecamatan lain.
Seorang teman pernah mengomentariku, “Ilmumu adalah ilmu setengah dukun. Sebab, bagaimana mungkin dokter bekerja tanpa petunjuk sama sekali dari hasil laboratorium dan radiologi?”
Aku hanya tersenyum. “Itulah istimewanya tempat ini,” jawabku di tengah senyuman.
Tapi senyum itu hanya bertahan sesaat. Karena kematian di tempatku ini semakin akrab. Di sini, semakin aku sadar bahwa visi Indonesia Sehat lebih mendekati bualan ketimbang kenyataan.
* * *
Ini hari ketiga aku merawat anak lelaki itu.
Kondisinya semakin memburuk. Bola matanya sering melirik ke atas, seperti setengah sadar. Beberapa kali dia kejang saat panasnya mencapai puncak. Tubuhnya menggigil tak tertahankan, sambil mulutnya berkali-kali bergumam tak jelas.
Aku melihat kulitnya yang tampak semakin pucat. Entah sudah seberapa berat anemianya. Perutnya pun membesar, akibat limpa di dalamnya yang terus membesar. Dugaanku hampir pasti, dia menderita malaria serebral.
Ahh…izinkan sebentar aku mengaku dosa.
Aku bersaksi bahwa Tuhan memang Maha Kuasa, juga Maha Pengasih. Aku tahu, dan juga beberapa kali pernah menjadi saksi, bahwa Tuhan sering menunjukkan keagungan di saat-saat terakhir. Aku tahu itu. Tetapi, kali ini berbeda.
Ada saat di mana usaha manusia telah mencapai titik nadir. Ada saat di mana pertarungan telah dianggap usai, bahkan sebelum waktu berakhir.
Inilah batas di mana aku memutuskan menyerah. Bukan berarti aku menghentikan terapi, bukan! Aku hanya memutuskan bahwa ini saatnya aku berhenti membangun harapan kesembuhan, dan sudah saatnya bersiap menghadapi kematian.
Aku tahu itu salah. Dan aku juga tahu bahwa Tuhan melaknat setiap hamba-Nya yang berputus asa dari semua harapan. Tapi, apa yang bisa dilakukan?
Sejak hari pertama, telah kusarankan pada lelaki itu untuk membawa anaknya ke rumah sakit di kota. Kuterangkan padanya bahwa Puskesmas tak mempunyai obat-obatan dan fasilitas yang memadai untuk merawat sakitnya. Tapi tahukah apa jawabnya?
“Saya tidak punya cukup uang…”, itulah jawabnya. Klise. Tapi selalu saja terdengar amat menyesakkan.
Itulah sebabnya sejak lama kusebut tempat ini kejam. Mengapa? Karena ongkos transportasi pulang-pergi dari sini ke kota adalah 600 ribu rupiah per orang. Itu jumlah uang yang teramat besar, bahkan bagiku sendiri.
Itulah sebabnya aku mengangguk-anggukkan kepala dengan sangat paham. Telingaku nyaris terbiasa mendengar alasan serupa, seolah tak ada yang salah. Seolah itu cuma bagian cerita keseharian. Seolah tak ada yang patut disalahkan.
Seorang teman memberi nasihat padaku, di suatu waktu dulu, “Jangan latah menyalahkan pemerintah. Anggaran mereka terbatas, sementara kebutuhan rakyat dan pembangunan demikian banyak. Pemerintah telah berbuat sebaik mungkin.”
Aku tersenyum getir. “Tidak, aku tak hendak menyalahkan pemerintah. Aku akan melempar kesalahan pada Tuhan yang tak pernah membuatkan jalan bagi masyarakat di kecamatan ini. Memang Tuhan yang salah…”, kataku sinis pada udara hampa.
Dan bagai sebuah keniscayaan, anak itu pun menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan ayahnya, di hari keempat perawatan, tepat menjelang tengah malam. Dan malam itu, rembulan pun murka hingga tak mau menampakkan sinarnya. Dibiarkannya kegelapan menguasai malam. Tiada bintang.
Lelaki itu duduk diam tanpa suara di atas sebuah ranjang kusam. Tanpa air mata. Hanya tangannya saja yang bergerak pelan mengusap tubuh anaknya yang telah tiada. Dipeluknya anaknya dengan hampa. Tak terdengar tangisan orang lain di sisinya untuk mendukung kesedihannya. Hanya suara gonggongan anjing yang gelisah di kejauhan terdengar membelah malam. Konon, anjing-anjing menjadi gelisah saat sebuah ruh terlepas dari jasad fisiknya dan terangkat menuju haribaan Tuhan. Begitulah kepercayaan yang kudengar.
Kabut malam bergulung tebal memenuhi udara. Matahari masih terlelap di dalam singgasananya, di bawah cakrawala. Fajar belum merekah. Langit masih gelap gulita. Udara masih terasa sama dinginnya seperti saat pertama lelaki itu datang mengetuk pintu rumahku, empat malam lalu.
Lelaki itu melangkah keluar dari halaman Puskesmas sambil menggendong jenazah anaknya. Tubuhnya masih gemetar, sebagian karena kesedihannya barusan, dan sebagian akibat menahan dingin malam.
Tak ada pesta mengiringi kematian anaknya, sebagaimana layaknya tradisi Dayak. Tak ada keramaian sanak saudara yang mengantar. Mungkin nanti saat dia tiba kembali di kampung. Arak, bir, dan alkohol akan bercampur memenuhi udara waktu pesta, diiringi musik-musik kesedihan serta tangisan yang menyayat kerumunan malam.
Aku mengantarnya pergi hingga keluar halaman. Setelahnya, hanya pandang mataku yang mengikuti hingga langkahnya tiba di tepian sungai.
Sebuah longboat tua setia terikat di sana. Tak lama, terdengar mesin bisingnya yang menyala. Perlahan-lahan suara bising itu menjauh, merayap menuju hulu sungai.
Aku memandanginya berlalu menyisiri kabut malam, membelah arus sungai, lalu tenggelam dalam kegelapan di kejauhan. Lelaki itu datang berselimut kabut. Dan kini, dia menghilang bersama kabut.
Samarinda, 14 Desember 2010