Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Einstein's Dream

5 Juni 2013   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:28 113 1
Tanpa kita sadari, dunia terbelah dua. Dunia damai dan dunia yang penuh gelisah. Dunia di mana waktu bergerak lambat; dan bergerak lebih cepat. Diri kita, sekali lagi tanpa sadar, telah terhubungkan ke dalamnya, menjadi seorang penghuninya.
Suatu ketika, di masa silam, sekelompok ilmuwan menemukan bukti bahwa waktu bergerak lebih lambat di tempat-tempat yang jauh dari pusat bumi. Tidak kentara bagi mata biasa, ataupun jam dan arloji yang kita kenal sekarang. Tapi perbedaan itu akan terlihat melalui alat pengukur paling sensitif.
Sejak itu muncul pemandangan ganjil di segenap wajah bumi. Orang-orang berlomba membuat rumah di dataran-dataran tertinggi. Tak puas hanya di lereng dan kaki gunung, mereka berlomba ke puncak gunung. Di sanalah waktu bergerak semakin melambat hingga usia seakan tertahan oleh wujud yang tak tampak. Maka berdirilah bangunan-bangunan baru, rumah-rumah besar yang memadati setiap jengkal pegunungan tertinggi di muka bumi.
Semakin mereka merasakan waktu yang melambat, semakin penting arti ketinggian bagi mereka. Lalu dibangunlah rumah-rumah baru yang menjulang melebihi puncak, ditopang kayu-kayu penyangga dan beton-beton raksasa. Dari kejauhan tampak laksana bangau-bangau gemuk yang berdiri di atas kaki-kaki kurusnya.
Einstein menyatakan bahwa waktu memang bergerak melambat, pada partikel yang bergerak mendekati laju cahaya, 300.000 km/detik di ruang hampa. Para astronot yang menikmati alam raya melalui jendela pesawat luar angkasa yang bergerak dengan kelajuan macam itu, terberkahi oleh umur yang beranjak lebih pelan dibanding penduduk bumi. Saat pulang, setelah bertahun-tahun mengarungi jagad raya, jauh dari pusat bumi, wajah-wajah mereka tampak awet muda.
Sejak itu penyelidikan tentang waktu mewabah, hingga sampailah pada kesimpulan sekelompok ilmuwan terkemuka dari negeri paling maju sekaligus paling jumawa, bahwa waktu (terlepas dari hubungan disliniernya dengan laju benda) ternyata bergerak lebih lambat di sudut-sudut terjauh dari pusat bumi.
“Misteri waktu semakin terkuak tabirnya. Manusia bisa menjaga kemudaannya. Kita bisa bertahan hidup lebih lama. Ini sungguh revolusioner!” demikian pengakuan Akademi Sains Swedia saat penganugerahan nobel fisika.
Kini dampak itu mengglobal, mengikuti kaidah globalisasi. Menyebar luas hingga ke tanah kita. Ini bukan ilusi!
Dahulu orang tak begitu peduli tinggal di mana. Gunung, tepi danau, rimba belantara, bagi mereka sama saja. Nenek moyang kita hidup saling terasing di pusat-pusat alam terliar; gunung, lembah, gua, tebing-tebing paling terjal, padang pasir tandus, tundra, padang es. Kebiasaan itu diturunkan pada anak-anak mereka dan generasi sesudahnya.
Perubahan datang tak lama, saat manusia menunaikan klaim dirinya sebagai homo socius, hingga interaksi berjalan seluasnya tanpa henti, tanpa batas, hingga tiap sudut bumi terjelajahi dan terkenali. Muncullah semangat kompetisi; keinginan menguasai. Lalu timbul sensasi kemenangan, tentang siapa yang lebih hebat dari yang lain; sebuah Darwinisme sosial. Termasuk soal kemudaan. Setiap orang berlomba menjaga dirinya tetap muda. Menahan usianya selama mungkin, semuda mungkin. Bahkan, kalau bisa, selamanya…

* * *

Penghuni rumah-rumah bangau menatap rumah yang lebih tinggi dengan perasaan galau dan resah, merasa bahwa tetangganya hidup lebih tenang dengan usia lebih panjang, bercinta dengan penuh gairah, lebih hebat, serta menikmati hari-hari seolah waktu tak pernah berakhir.
Saat beralih menatap ke bawah, dia yakin bahwa orang-orang di sana bergerak lebih tergesa, berpacu dengan sedikit waktu, lebih gelisah, memperhitungkan waktu dan jadwal jauh lebih teliti dibanding yang lain.
Waktu di dataran terbawah tak ubahnya berlari, hingga orang-orang harus senantiasa berlari ke sana kemari. Tak terlihat gerak santai. Semua terburu-buru, berhemat dengan waktu.
Lihatlah orang-orang yang tinggal di pusat kota, di dataran-dataran terendah. Mereka terbius dalam kesadaran bahwa pusat bumi berada lebih dekat dengan tubuh mereka. Setiap orang ketakutan. Ironisnya, semua orang memuja kemudaan. Hingga iklan-iklan penghambat penuaan di pusat-pusat kota laris bak kacang goreng dalam kemasan krim, kapsul, tempat-tempat salon kecantikan, spa, serta pusat kebugaran. Mereka senantiasa melestarikan tradisi itu, seiring dengan kesadaran dan bukti-bukti yang semakin sahih bahwa orang-orang kota menua lebih cepat dibanding orang yang hidup di gunung.
Setiap minggu, dua-tiga kali, di antara deretan panjang jadwal rapat dan kesibukan kerja yang melimpah, terselip keharusan mengunjungi spa, salon kecantikan, atau pusat kebugaran. Suplemen penambah vitalitas menjadi asupan rutin untuk menipu jiwa yang sekarat agar merasa yakin bahwa dirinya lebih segar serta lebih muda. Sesungguhnya, jiwa-jiwa itu bertambah tua karenanya.
Di salon, spa, dan pusat kebugaran, orang-orang kota ingin senantiasa memastikan tubuh mereka tidak menua lebih cepat dari seharusnya. Dan bila itu terjadi, kepanikan menghantui hingga terbawa mimpi.
Orang-orang kota pergi ke medical centre dan rumah sakit terbaik dan termahal, dokter geriatri paling ternama, untuk menghentikan laju penuaan yang mereka alami.
“Itu sungguh mimpi buruk,” cerita mereka pada dokter-dokter tersebut. “Sembuhkan kami! Selamatkan kami!” seru mereka panik tanpa sadar bahwa tak ada hal apapun yang perlu diselamatkan dan disembuhkan.
Mereka seharusnya pergi pada dukun dan ahli nujum untuk memberitahu nasib kulit dan keriput mereka di masa depan agar kepanikan itu tersirnakan.
Tapi transaksi di tempat-tempat tersebut selalu terjadi karena dokter tak etis menolak uang. Keterangan dokter meyakinkan bahwa penuaan adalah bencana. Karena kontrak dan deal-deal menggiurkan sudah disepakati sebelumnya secara gentlemen agreement di restoran-restoran mewah, warung-warung makan terenak, bahkan di ruang-ruang praktik paling bersahaja di pinggiran kota bersama utusan dari pabrik obat. Uang dan janji kekayaan senantiasa mengalir datang pada dokter. Transaksi selalu terjadi.
Seperti lazimnya dunia, terdapat sejumlah kecil warga kota yang tak peduli apakah umur mereka menua lebih cepat beberapa detik dari yang lain. Mereka tahu, melawan sang waktu tiada guna. Mereka mengalah sebelum terkalahkan, belajar menerima hidup apa adanya. Wajah-wajah mereka tak lagi gelisah. Duduk santai dan tertawa di tepi kolam atau danau bersama anak-anak yang beranjak remaja; belajar melihat keremajaan sebagai masa lalu; menikmati pasir putih pantai dan berjemur di bawah terik mentari tanpa dikerumuni ketakutan bahwa sinar ultraviolet mempercepat laju usia kulit mereka hingga lebih cepat mengendur dan mengeriput. Orang-orang di sekitar mereka berjalan tergesa, melewati, lalu memandang mereka dengan menghina.
“Mereka adalah orang-orang yang kalah. Karena kemenangan adalah soal ambisi dan kompetisi. Menyingkir atau tersingkir sama saja, sama-sama pecundang,” sebut seseorang yang melintas dengan terburu-buru.
Sementara orang seperti dirinya, yang disebutnya bermobilitas tinggi, adalah orang yang masih menyimpan harapan semu untuk menang. Meski entah siapa jurinya, dan siapa yang berhak memberi penilaian tentangnya. Itulah aturan dasar hidup di bumi yang berlaku saat ini.
Para calon pemenang hidup di tempat termewah di pusat kota; menikmati layanan terbaik, dihormati dan disegani, bahkan diperlakukan layaknya raja di tiap kerumunan. Hotel, restoran, mall, pusat-pusat hiburan, juga pusat kemaksiatan, menjadi saksi kemenangan ini. Hanya dimiliki dan disinggahi para calon pemenang, orang-orang yang selalu berkompetisi dan berambisi.
Di akhir pekan, vila-vila mewah di dataran tertinggi mereka diami. Bukan untuk mencari kehangatan tentu saja, karena dataran tinggi tak membawa hawa panas. Juga bukan mencari rasa dingin, karena hati mereka lebih dulu membeku sejak kompetisi dimulai.
Di akhir pekan itulah jatah usia mereka terbayar. Sejenak menahan laju hari. Waktu berjalan lebih lambat. Itulah sebabnya rutinitas mereka berubah drastis di tempat-tempat dataran tinggi. Mereka jadi rileks dan santai, menikmati hari tanpa aktivitas, membaca koran berlama-lama sambil duduk menyelonjorkan kaki di kursi malas, menyeruput kopi yang dibiarkan di meja hingga dingin tanpa peduli bahwa hal itu memakan waktu bermenit-menit bahkan berjam-jam. Di situ mereka menaklukkan waktu. Tak ada televisi yang mengharuskan mereka mengingat waktu tayang sebuah acara. Tak ada radio. Handphone dimatikan. Jam di dinding tergantung mati karena baterainya lama tak diganti. Tak ada pengganggu. Tak ada pengingat waktu. Mereka terbangun di sore hari dan tersadar bahwa waktu berjalan teramat pelan, juga membosankan…
Begitulah rutinitas yang mereka jalani. Senin hingga Jumat berlarian ke sana kemari, menoleh ke kanan-kiri dengan cepat, lalu menyeberang jalan dengan terburu-buru; menyantap makanan sambil melirik arloji berkali-kali seakan takut waktu beranjak meninggal terlalu cepat; lalu mengakhiri hari dengan mendesah lelah, tertidur lelap, lalu terjaga oleh bunyi alarm jam weker keesokan pagi untuk kembali bertarung berkejaran dengan waktu yang menyerupai kilat.
Jam, arloji, alarm, note book, organizer adalah piranti wajib bagi yang terobsesi waktu. Di setiap tempat, sudut ruangan, kita bisa menjumpai. Orang-orang yang gelisah menunggu kereta, tak henti-henti melirik pergelangan tangannya, mengumpat berkali-kali akibat jadwal kereta yang amburadul, berlari tergesa keluar mencari taksi tanpa peduli logo di pintunya bukanlah perusahaan taksi yang biasa disewanya, lalu duduk di jok belakang membuka laptop, mempelajari berkas presentasi sambil berulang-ulang membaca susunan kegiatan hari itu, sambil benaknya seketika menyadari betapa banyak waktunya terbuang tadi.
Di dunia yang lain, di puncak-puncak gunung, yaitu penghuni rumah-rumah bangau, suasananya lebih senyap. Burung dan pepohonan senantiasa mendendangkan suara merdu. Berisik dedaunan tertiup angin, buah yang masak di pohon lalu sesekali jatuh menimpa atap rumah, membuat beberapa pasang kepala tersembul keluar yang tak lama menghilang lagi ke dalam setelah menyadari bahwa di ketinggian itu tak ada orang selainnya; suara dahan yang meliuk saat dilompati burung dan tupai yang kemudian lurus kembali saat hewan-hewan itu pindah pada dahan lainnya. Suara-suara itu melatarbelakangi sunyi damai dunia ini, dunia yang jauh dari kompetisi.
Sesekali memang ada urusan yang memaksa para penghuni itu turun. Mereka turun dengan cepat, melangkah cepat, akibat kesadaran yang membius bahwa waktu berjalan teramat cepat di bawah. Mereka bersegera menyelesaikan urusan lalu pulang dan tinggal kembali di tempat yang tinggi.

* * *

Lambat laun, entah bagaimana, orang lupa pada alasan mengapa tinggal di tempat lebih tinggi adalah lebih baik. Meski begitu, orang-orang percaya bahwa tinggal di gunung lebih baik bagi kesehatan. Mereka bertahan hidup di gunung-gunung. Sedapat mungkin menghindari daerah cekungan, mengajari anak-anak mereka agar menjauhi anak-anak yang tinggal di tempat yang lebih rendah. Mereka tahan terhadap hawa dingin pegunungan, menikmati ketidaknyamanan itu sebagai bagian dari pendidikan. Mereka bahkan meyakini bahwa udara tipis bagus untuk tubuh, dan dengan mengikuti logika itu, mereka menjalani diet yang keras, makan hanya dengan porsi kecil. Akibatnya, populasi di ketinggian menjadi setipis udara, keropos, dan menjadi tua sebelum waktunya.
Dua dunia itu seolah tak bisa menyatu. Tinggal berseberangan, saling bertolak belakang. Dan waktu terus berjalan; sebagian lebih cepat, sebagian lebih lambat. Tapi keduanya, ternyata, sama tak bisa menghambat gerak takdir Tuhan. Hidup menua bersama, meski di tempat berbeda.
Dan waktu, hingga kini, tetap pada hukum asalnya: bergerak lebih lambat di tempat-tempat terjauh dari pusat bumi.

Ponorogo, 12 Mei 2009

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun