Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Pilihan

Tokoh Publik dan Dilema Kebebasan Media Sosial

3 November 2014   20:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:47 102 0
Jacqueline Kennedy, isteri mendiang J.F. Kennedy, memilih berperkara di depan hukum, gara-gara merasa terganggu oleh ulah seorang reporter koran, yang terus membuntuti ke manapun ia pergi. Oprah Winfrey, harus susah payah membela diri di Gedung Pengadilan, gara-gara ada pihak yang merasa dirugikan oleh kata-kata pembawa acara paling terkenal di dunia ini.

Dunia pernah berduka lalu menjadi marah, begitu tahu bahwa faktor pemicu kecelakaan mematikan terhadap Lady Diana adalah para papparazi, pemburu foto yang mengusik kehidupan pribadi para seleb. Kisah-kisah faktual seputar para tokoh terkenal yang merasa terganggu oleh hiruk pikuk media, menjadi gambaran awal betapa tak mudah menafsirkan kebebasan informasi, yang mejadi payung hukum para pemburu berita.

Jika oleh media massa yang resmi sekalipun, para tokoh publik sudah merasa sangat terganggu, lalu bagaimana dengan aksi liar para pengguna media sosial?

Media sosial, jauh lebih bebas dan tak terkendali tinimbang media massa umum, karena sifatnya yang tak berstruktur, tak mengenal hirarki, tak ada fungsi kontrol, dan... tak bertanggungjawab. Media sosial kebanyakan dikelola oleh alamat anonim. Olehnya, berbagai fitnah, provokasi, penghinaan, begitu bebas bergerak di media sosial.

Dalam banyak kasus, pihak yang paling sering menjadi sasaran adalah tokoh-tokoh publik (baik dari dunia hiburan, politik, bisnis, atau olahraga). Atau bisa jadi pihak yang dirugikan adalah orang-orang biasa, akan tetapi dampak publisitas dan sensasinya tergolong rendah. Lagipula, serangan media sosial terhadap individu yang tergolong orang-orang biasa, tarafnya adalah dari pribadi ke pribadi. Bukan urusan publik.

Lalu Bagaimana?

Kalau mau jujur, pasar fitnah dan saling serang di media sosial adalah bukti kuat akan adanya kelemahan fatal dalam praktek bermedia (sosial) di negeri ini.

Teori komunikasi menggolongkan para pengguna media (termasuk media sosial), dalam tiga level. Yaitu highbrow, yaitu golongan orang kelas tinggi (secara intelektual dan selera). Golongan ini menikmati media untuk bertukar ide, menyebarkan gagasan, menularkan nilai-nilai, dan produktif (dalam arti melakukan aktivitas yang berdaya guna via media).

Golongan berikut, yaitu midlebrow, tak lain adalah kalangan menengah, yang menggunakan media untuk mencari informasi (hiburan atau pengetahuan), dan untuk relaksasi, misalnya melepas kejenuhan. Di golongan ini, media juga berfungsi sebagai alat sosialisasi mereka.

Golongan terakhir, dan ini yang berbahaya, adalah lowbrow, yakni kalangan bawah, yang menggunakan media (sosial) benar-benar sebagai alat pemuasan diri. Mereka adalah kebanyakan orang-orang kalah, gagal, dan frustrasi. Merasa dunia ini tak adil, kejam, dan dirinya kurang beruntung. Mereka juga terlalu banyak punya waktu luang, karena pekerjaan yang tak jelas. Tak ada kebutuhan di kalangan ini untuk adu gagasan, bertukar ide, atau memperjuangkan nilai-nilai positif.Isi otak mereka tak sampai ke situ.

Yang ada adalah ingin sebanyak mungkin menguar-uarkan ekspresi liar. Golongan ini, kerap kali merasa berhak melakukan apapun, karena orang lain juga melakukan hal yang sama. Artinya, mereka tak punya prinsip, mudah ikut-ikutan.

Secara faktual, komposisi pengguna media sosial di negeri ini pasti dari kalangan ini. Bisa diamati, misalnya, begitu total waktu mereka untuk online di media sosial, tak kenal pagi, siang, dan malam. Artinya, mereka tak punya aktivitas yang penting dan bermanfaat, selain curhat. Ciri lain, mereka tak hirau dengan asas-asas berkomunikasi, misalnya kesopanan dan tanggng jawab sosial, mereka bahkan tak segan mencaci maki, mengolok-olok, dan melakukan kekerasan verbal lainnya (misalnya gambar-gambar menghina, atau bernuansa kekejaman). Contoh lain, adalah banyak dari kalangan ini yang tak risau menjaga hubungan dan nama baik, karena memang mereka bukan siapa-siapa. Andai saja pengguna media sosial adalah orang yang berkepentingan menjaga martabat diri, maka tak mungkin mereka memposting isi media sosial yang sembrono.

Satu catatan: baik golongan atas, menangah, atau bahwah, dalam kategori pengguna media sosial, mungkin saja melakukan kesalahan dan kekeliruan (dalam aktivitas media sosial). Hanya satu yang membedakan: golongan bawah, melakukan itu sebagai menu harian, sementara golongan lain, bisa jadi karena kecelakaan, misalnya saat sedang marah, tersinggung, atau lepas kontrol.

Lanskap pengguna media sosial seperti ini yang membuat lalu lintas dan frekuensi isu di media sosial selalu rumit. Karena perangkat hukum mudah dilanggar. Etika digembosi. Dan sopan santun digampangkan.

Selalu saja muncul peristiwa yang terkesan liar, barbar, dan tak beradab. Korbannya, seperti yang kerap kita temui, adalah orang-orang yang tergolong tokoh publik. Masalahnya: para tokoh ini pun adalah manusia biasa, yang butuh privasi, kehortamatan diri, dan nama baik. Kebebasan media sosial, harus tetap menghormati hal ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun