Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Teror Putih Pemecah Partai Politik

26 November 2014   18:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   11:14 975 2
Pertarungan politik menurut Machiaveli bisa berlangsung dalam dua cara: cerdas dan ganas. Sang penulis buku Il Principe ini membuat perumpamaan menarik, yakni tentang rubah dan singa.

Pemain politik tak bisa hanya mengandalkan keperkasaan yang sangar seperti Singa, tetapi juga harus licin dan cerdik seperti Rubah. Lantaran kalau cuma kuat, masih gampang ditipu, dan pasti bisa jatuh. Olehnya harus juga bisa seperti Rubah, yang punya kuku kuat, tetapi terampil memanfaatkan situasi.

Analogi dari Filsuf Italia era pencerahan itu memang menanggalkan basis moral dan nilai-nilai kebaikan. Tetapi itu pandangan yang realistis. Bahkan menurut beberapa pakar, ada nasehat penting dari pesan-pesan pertarungan politik ala Machiavelli. Tak lain adalah: kemampuan para politisi untuk bisa bertahan adalah fleksibel, adaptif, dan tak boleh statis.

Bila ditarik dalam praktek nyata, semua menjadi niscaya. Bahwa seorang politisi yang mengusung misi kebaikan akan terlempar sia-sia manakala ia tak mampu melawan gempuran dari kanan dan kiri.

Mari kita lihat konteks aktual hari ini di tanah air.

Hari-hari kita diwarnai konflik politik vulgar. Peragaan atas adu kuat bahkan dalam tindakan tergolong brutal. Semua level kekerasan telah lahir. Dari perdebatan wacana, kontroversi isu, saling serang dan nista, ribut di parlemen, hingga adu jotos. Sangat jelas, tak mungkin para person yang terlibat mau melaksanakan hal-hal tak pantas itu jika tidak memiliki kepentingan politik. Semuanya berlatar pengamanan kekuasaan atau perebutan porsi kekuasaan.

Namun yang lebih menyedihkan, institusi-institusi formal seolah tak bisa menahan diri untuk ikut campur. Serangkaian tindakan dan keputusan terlihat nyata memperkeruh suasana. Padahal dalam konflik politik, katup penyelamat justru berada pada proses pelembagaan konflik. Yakni jalur netral, moderat, pasti, dan berdimensi keadilan.

Ditambah pula, aktor-aktor politik yang mestinya memberi kontribusi bagi penguatan konsolidasi demokrasi, berperilaku sama dengan para pihak yang melakukan kekerasan politik.

Aktor politik demokratis yang dimaksud adalah pers, kaum intelektual (pengamat), organisasi masyarakat sipil (civil society), dan bahkan kalangan agama, tidak hadir sebagai penyejuk suasana. Malah mengipas-ngipasi kobaran api.

Sesungguhnya di sinilah kerumitan berpusar. Konflik hari ini berdimensi vertikal (melibatkan institusi negara, dari bawah ke atas) sekaligus juga horisontal (melibatkan komponen masyarakat). Jika sudah begini, persoalan menjadi kian rumit. Praktik politik yang berkeadaban menjadi tersingkirkan.

Padahal konflik politik bisa diselesaikan dengan begitu banyak cara. Di titik paling awal adalah para aktor politik yang mengedepankan etika dan kepatutan. Lalu aktor non politik memberikan penilaian jernih. Kemudian aktor lembaga resmi melakukan kajian multi perspektif. Syarat dari kesemua itu adalah netralitas dan tidak berniat mengambil keuntungan dari konflik.

Sayangnya itu tak terjadi. Semua pihak ikut-ikutan menggerojok pelbagai persoalan. Dilengkapi dengan suasana psikologis penuh kebencian, kemarahan, dan sentimen. Opini publik dan memori massa dengan sengaja dipasok oleh informasi provokatif. Sementara aktor negara terlihat berniat mengambil keuntungan tertentu.

Penilaian itu wajar, manakala menyimak preferensi sikap negara (dalam hal ini Kabinet Jokowi), yang tak hati-hati. Pengambilan keputusan yang berbasis pada pemihakan pada kelompok. Seraya mempermainkan opini dan argumentasi.

Tetapi manakala terjadi eskalasi konflik dan pembesaran isu, serangan justru mengarah pada partai politik dan parlemen. Partai politik dan parlemen dianggap satu-satunya biang keladi. Padahal senyatanya banyak aktor yang ikut-ikutan memperkeruh suasana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun