Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

2015: Era Tarung Internal Partai

4 Desember 2014   19:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:03 51 1
Baru saja Munas Partai Golkar selesai. Tetapi gejolak internal di partai itu mungkin masih berlanjut di tahun 2015 nanti. Pun begitu dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang hingga kini nasibnya masih "menggantung".

Bahasa standar terhadap fenomena ini adalah dinamika politik. Padahal sesungguhnya lebih dari sekedar dinamika, melainkan adu kuat. Sebagai pihak luar, kita mungkin hanya bisa meraba-raba kekuatan mana yang tumbang, dan mana yang menang.

Berikutnya masih ada partai politik yang akan menggelar hajatan serupa, salah satunya (Insya Allah) Partai Amanat Nasional. Sebagai kader PAN Saya berdoa agar tak terjadi gejolak keras, dan segalanya berlangsung lancar. Amin...

Sebetulnya, momen-momen sejenis masih banyak, yang sifatnya terkait dengan panggung politik dan menjadi bagian dari sayap politik partai (baik resmi atau tak resmi). Seperti Kongres KNPI dan AMPI (yang menurut informasi terkini, akan digelar dalam waktu dekat). Sedikit banyak, hal inipun akan mewarnai konstalasi politik, terutama di kalangan kaum muda.

Tetapi apa urgensi dari semua ini?

Mari mulai dari analogi. Partai politik menjadi lokomotif kekuasaan yang pasti, bergerak dalam segala aspek, dan memainkan pengaruh cukup kuat. Terlebih konstelasi politik kekuasaan saat ini bersifat (nyaris) liberal. Partai politik juga memintal seluruh sumber daya politik yang ada di negeri ini, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif. Belakangan bahkan merangsek masuk pada sektor ekonomi bisnis dan media. Per teori, wilayah eksistensi partai politik ada pada lingkungan supra struktur (struktur atas).

Di era reformasi ini, partai politik juga menikmati perluasan peran yang begitu lebar. Mereka memperoleh surplus energi dari berbagai sumber. Menyedot segala modal kuasa yang tersedia. Bila di era Orde Baru partai bertopang pada mesin birokrasi, militer, dan elit tradisional, maka kini terjadi extension of power (perluasan kekuasaan).

Wilayah yang dulu agak kurang tersentuh, kini tersedot. Lihat saja, dunia kampus, lembaga riset, kelompok profesional, asosiasi, komunitas, Ormas, dan bahkan mahasiswa dan LSM, ramai-ramai menjadi perangkat partai. Memang tak semua, karena cukup banyak unsur-unsur masyarakat madani itu yang independen. Seperti LSM yang tetap kritis, media yang kredibel, dan juga kalangan intelektual yang memegang teguh integritas keilmuan. Tetapi kelompok-kelompok idelis itu terpendam, kalah oleh populisme politik yang riuh rendah.

Inilah yang menjadi bias dari surplus kekuasaan partai politik. Persaingan sengit dan kompetisi frontal seperti yang terjadi di beberapa partai politik, sesungguhnya merepresentasikan itu semua. Bahwa dengan menguasai partai politik, maka menjadi mudah memperoleh segala hal (catch all).

Menjadi ketua umum partai berarti pula menjadi penentu atas segala kebijakan dan keputusan publik. Ketua Umum Partai memiliki akses untuk mempengaruhi anggaran (APBN, via wakil-wakilnya di DPR), menentukan legislasi, dan mengatur pola pengawasan terhadap pemerintah. Menjadi Ketua Umum Partai sekaligus juga menjadi selebriti, berpotensi mengarahkan opini publik, dan dalam beberapa hal juga sanggup menggiring isu tertentu.

Alangkah luar biasa. Semuanya menjadikan peta politik nasional hanya berurusan dengan siapa melawan siapa, atau kelompok mana yang menguasa partai apa. Benar-benar secara murni memerankan aksioma politik dari Harold Laswell, bahwa politik adalah siapa memperoleh apa...

Patut diingat, tafsiran ini bukan hanya berlaku untuk satu dua partai. Tetapi keseluruhan.

Kira-kira peluang apa yang bisa direproduksi dalam kondisi seperti ini?

Jawabannya terletak pada kekuatan tanding dan mitra kontrol yang kuat. Publik jangan semata-mata melihat pertarungan partai sebagai tontonan yang bebas mereka komentari (dengan marah atau dengan cuek). Ini tak menghasilkan apapun. Sikap yang benar, Saya kira, adalah selalu aktif melakukan reproduksi wacana tanding.

Ingat, di titik paling prinsip dan gawat, partai politik juga punya titik lemah. Seperti pada isu ancaman keutuhan nasional, yang terjadi di ujung Pilpres lalu. Segenap partai dan elit politik terlihat mengalah. Artinya, kekuatan kritis rakyat benar-benar dibutuhkan. Tentu dengan cara-cara yang terukur, cerdas, serta kuat. Toh hari ini publik punya perangkat aktualisasi yang sakti, media sosial misalnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun