Bila kekuasaan logika dibangun atas basis argumentasi, data, informasi, dan analisis, maka sebaliknya dengan logika kekuasaan. Lantaran logika kekuasaan seringkali memutar semua asumsi dan hipotesis yang beredar di khalayak umum. Seorang tokoh yang jika diamati via kekuasaan logika dianggap akan menang, maka oleh logika kekuasaan bisa terlempar.
Hal-hal seperti inilah yang kerap menjadi kejutan dalam berbagai panggung perebutan kekuatan politik. Bisa jadi hal ini justru menjadi magnet. Olehnya "perang kekuasaan" menjadi tidak menjemukan, karena sukar ditebak.
Satu hal yang menonjol dalam perkara Kongres Partai Politik, yakni para peserta (pemilik hak suara) adalah para pemain politik murni, bukan khalayak umum seperti dalam Pemilu.
Dalam Pemilu, pendekatan matematis (seperti survey politik) bisa dilakukan, guna memprediksi kubu siapa yang punya kans untuk menang. Mengapa? Pertama, para pemilih adalah dalam jumlah yang begitu besar, heterogen, tidak terlalu terikat oleh kepentingan tertentu, dan mudah dipengaruhi. Kedua, dalam Pemilihan umum mayoritas pemilih tak berkepentinga langsung dengan pilihannya ---mereka bisa jadi menjadi Golput, atau memilih karena daya tarik tertentu saja. Ketiga, dalam Pemilu, para pemilih tak mungkin terjangkau secara fisik satu per satu oleh pihak yang ingin dipilih.
Pokok perkara ini berbanding terbalik dengan pemilik hak suara dalam Kongres partai politik (seperti di Kongres PAN, 28 Februari mendatang).
Tipologinya adalah seperti berikut:
Pertama, para pemilik suara adalah para pemain politik murni, entah sebagai pengurus inti partai di daerah, anggota DPRD, Kepala Daerah, atau posisi politis lainnya.
Kedua, para pemilik suara dalam Kongres PAN, dengan demikian punya kepentingan langsung atas pihak yang akan mereka pilih. Dan kepentingan ini paling minim, berjangka waktu lima tahun. Jika pemilik suara adalah kandidat dalam Pilkada, maka ia akan memilih tokoh calon ketua umum yang dia anggap akan memberikan surat rekomendasi kepadanya ----guna menjadi kader PAN yang direstui dalam Pilkada. Atau jika dia anggota DPRD, maka ia berharap di Pemilu berikutnya ia diberi nomor urut bagus.
Ketiga, relatif para pemilik suara dalam Kongres PAN adalah "tercukupi" kebutuhan logistik dasar, olehnya jelas tak akan mempan oleh iming-iming terbatas ----seperti kaus, atribut, atau ongkos ojek, seperti dalam Pemilu biasa.
Keempat, para pemilik suara dalam Kongres PAN, mayoritas terkat dalam garis perkawanan atau punya ikatan emosional ideologis tertentu, maka mereka akan membentuk barisan untuk memenangkan kandidat pilihan mereka.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pertarungan sekelas Kongres PAN akan sangat sukar diprediksi. Metodologi survey paling canggih sekalipun, atau operasi komunikasi politik paling brilian pun, sulit untuk memenangkan pertarungan. Karena pola interaksi antara Kandidat Ketua Umum dan pemilik suara bersifat langsung, pragmatis, dan syarat kepentingan.
Lebih-lebih, di satu sisi PAN sudah bergeser dari pola kepemilikan partai yang patronistik. Memang ada tokoh kuat dan penentu, seperti Pak Amien Rais. Tetapi Kongres PAN kali ini bisa dipastikan penuh dinamika dan kencang pertarungan. Masing-masing kandidat punya kans untuk menang...