Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Liontin Bermata Biru Safir

22 Oktober 2022   04:00 Diperbarui: 22 Oktober 2022   19:44 367 7
Rafiq menepikan motor di area parkir masjid Al-Hidayah bertepatan dengan imam salat isya mengucapkan salam. Ia mengusap peluh yang menetes di dahinya, kelelahan tampak di wajah pemuda berusia 22 tahun itu. Ban motornya bocor dan ia harus menuntun sejauh dua kilometer sebelum tiba di masjid ini. Sebenarnya ia menemukan dua tempat penambal ban, tetapi keduanya sudah tutup.

Setelah memasuki masjid, pemuda beralis tebal itu segera menuju toilet, lalu berwudu. Sejuknya air yang membasuh wajah dan anggota tubuhnya, sejenak mampu mengusir penat yang mendera.

Masjid mulai sepi, dua orang jamaah baru saja meninggalkan halaman masjid. Memasuki ruang salat tampak seorang lelaki paruh baya sepertinya hendak meninggalkan masjid, tergesa-gesa memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel hitam miliknya.

Rafiq sudah larut dalam sujud-sujud panjangnya, diawali dengan salat tahiyatul masjid, diakhiri salat qabliyah Isya. Doanya khusyuk dan panjang, untuk orang tua, adik-adiknya dan kebaikan dunia dan akhiratnya.

Pemuda berkaca mata itu menepi untuk meluruskan kakinya yang lelah. Ia memilih duduk di pojok kiri masjid, tetapi belum genap menyandarkan punggungnya, ia melihat sebuah kotak kecil yang tergeletak.

Rafiq meraih kotak itu, kemudian membukanya. Tampak seuntai kalung yang tersusun dari butiran-butiran kecil emas. Pada untaiannya tersemat liontin berbentuk mawar dengan sebutir batu mengkilat di tengahnya berwarna biru safir.

Pemuda itu teringat pada lelaki paruh baya yang duduk di sini, sekitar dua puluh menit lalu. Mungkin karena tergesa-gesa, lelaki tadi tidak sadar telah menjatuhkan barang berharga ini.

Rafiq bergegas keluar, di pintu pagar masjid ia celingukan mencari sosok lelaki tua itu. Tentu saja sudah tidak terlihat, bahkan dengan apa lelaki paruh baya itu pergi, ia tidak tahu.

Pemuda berkulit sawo matang itu kembali memasuki masjid dengan kotak itu masih dalam genggamannya. Ia berharap si empunya akan kembali untuk mencari barangnya yang tertinggal.

Sudah tiga puluh menit Rafiq menunggu sambil tilawah. Namun, sosok yang ditunggu tak jua menampakkan batang hidungnya. Akhirnya ia memutuskan untuk ke rumah Ketua DKM yang berjarak hanya 200 meter dari masjid Al-Hidayah.

Masjid ini memang memiliki petugas khusus yang mengumpulkan barang yang tertinggal dan akan menyerahkan pada pemilik setelah ia bisa menunjukkan bukti atas kepemilikannya.

Rafiq meninggalkan masjid setelah urusannya selesai. Ia kembali menuntun motornya dan berharap akan menemukan bengkel untuk menambal ban motornya.

***

Rafiq terbangun karena kaget. Ia memijit pelipis karena rasa pening yang menyerangnya. Mungkin capek yang mendera menyebabkan tidurnya tidak nyenyak.

Kemarin ia menjadi salah satu pengisi acara kajian remaja. Selepas Subuh ia sudah berangkat, tetapi baru tiba di indekos sederhananya pukul 22.10. Ia harus berjalan selama satu jam untuk menemukan tukang tambal ban hingga penat.

Rafiq meraih handuknya, masih ada waktu tiga puluh menit menjelang Subuh. Air wudu yang membasuh anggota tubuh, membuat Rafiq lebih segar. Ia menggelar sajadah dan tak lama kemudian larut dalam sujud-sujudnya.

Azan Subuh berkumandang persis di salam terakhir witirnya. Lelaki beralis tebal itu melipat sajadah dan bergegas menuju masjid yang tidak jauh dari indekosnya.

Tiga puluh menit kemudian, Rafiq kembali. Seperti biasa, selama satu jam, ia akan tilawah dan membaca zikir pagi. Setelah itu, barulah ia melakukan aktifitas lainnya.

Hari ini Rafiq kuliah hingga pukul 10.00, ia akan memanfaatkan sisa harinya untuk mengecat rumah Pak Doni. Ya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia melakukan pekerjaan apapun, yang penting halal.

Pemuda tinggi ini berasal dari keluarga sederhana. Bapaknya adalah seorang petani yang diupah dengan menggarap sawah orang lain. Sedangkan ibunya seorang pedagang sayur yang menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah.

Rafiq kuliah dengan beasiswa dan tinggal di asrama. Namun ada kebutuhan sehari-hari yang tidak terpenuhi dari beasiswa, sehingga ia mengajar tahsin dan matematika secara privat. Ia mempunyai dua adik, Nisa kelas XII dan Zain kelas VIII yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Seringkali, ketika ia sedang banyak tugas dan memerlukan biaya tambahan, membuatnya sampai kehabisan uang. Seperti saat ini, ia hanya memiliki sisa uang Rp 30.000,- sementara honor mengajarnya baru akan ia terima minggu depan.

Rafiq tetap menjaga sikap hidupnya untuk selalu jujur dan ikhlas. Kondisi sulit sekalipun, ia berusaha untuk tidak berhutang dan ikhlas dalam menjalani hidupnya.

Seperti kemarin malam ketika ia menemukan kalung, ia titipkan pada lembaga yang amanah dan tidak mau meninggalkan nama dan nomor ponselnya meski hanya untuk laporan pengurus masjid.

Pukul 11.20 pemuda santun itu tiba di rumah Pak Tony dan disambut dengan sangat ramah. Lelaki paruh baya itu sudah beberapa kali meminta bantuan pada Rafiq. Terkadang ia meminta bantuan Rafiq untuk membersihkan kolam ikan atau memotong rumput di taman belakang rumahnya.

"Fiq, sebentar lagi Zuhur, kita makan siang dulu, baru ke masjid, ya!" ajak Pak Tony.

"Terima kasih, Pak. Saya langsung ke masjid aja." tolak Rafiq halus.

"Ayolah, nggak usah sungkan, kayak sama orang lain aja." Pak Tony meraih tangan kanan Rafiq dan menariknya menuju ruang makan.

Pak Tony mengenal Rafiq dari keponakannya, Norman, teman sekampus dan sesama aktivis Rohis. Lelaki paruh baya itu kagum pada pemuda yang hafal Qur'an dan memiliki kehalusan budi itu. Keikhlasan sang pemuda membuatnya tak pernah mengeluh dan gigih dalam menjalani kehidupan.

***

Waktu berlari meninggalkan catatan bagi sang pelaku sejarah. Setahun sudah Rafiq mengabdi di pesantren Khairu Ummah sejak kelulusannya. Ia sangat menikmati perannya sebagai musyrif. Para santri pun sangat dekat dengan sosok guru yang penyabar dan bisa berperan sebagai kakak sehingga tidak sungkan menceritakan masalah-masalah mereka.

Setiap satu semester, Rafiq pulang menemui orang tua dan adik-adiknya. Nisa kini sudah kuliah di Fakultas psikologi dan mendapatkan beasiswa karena prestasinya, sedangkan Zain sudah kelas X SMA.

Rafiq sudah menginjak usia 24 tahun, usia yang cukup untuk membangun biduk rumah tangga. Orang tua pemuda itu selalu bertanya tentang calon pendamping hidupnya di setiap ia menelpon. Dan Rafiq selalu menjawab dengan tawa kecilnya.

"Rafiq belum ketemu calon yang cocok, Mak. Kalau udah sampai waktunya, jodoh akan datang sendiri, kok." Begitu selalu jawaban Rafiq atas pertanyaam emak yang sudah rindu menimang cucu.

"Iya, jodohmu memang sudah tertulis lima puluh ribu tahun sebelum bumi diciptakan. Tapi seperti halnya rejeki, jodoh juga perlu diupayakan," wejang emak.

"Iya, Mak. Rafiq sudah berusaha dan memantaskan diri untuk jadi suami dan ayah yang baik. Rafiq minta emak juga doakan, ya, biar Allah segerakan."

"Iya, Cah bagus, Emak selalu doakan yang terbaik untuk kamu."

Rafiq sangat bersyukur dikaruniai orang tua yang pengasih dan sangat memperhatikan pendidikan agamanya sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik.

***

Rafiq baru saja menyelesaikan sarapannya ketika salah seorang santri memberi tahu kalau ia dipanggil Kyai Kamil, pimpinan pesantren. Lelaki paruh baya penuh kharisma itu sangat ia hormati dan kagumi. Sifat kebapakannya selalu menghadirkan ketenangan bila berdekatan.

Sang kyai sangat sayang pada Rafiq karena ketulusan dan akhlaq terpujinya. Beberapa kali kyai berusaha menjodohkan dirinya dengan keponakannya atau ustazah dari santri-santrinya.

"Fiq, kalau saja Kyai punya putri, tentu udah kujodohkan denganmu." Begitu selalu yang diucapkan kyai setiap ia mengajukan calon istri untuk Rafiq. Ya, Kyai Malik hanya dikaruniai tiga orang anak lelaki.

Tiga kali kyai bijak itu mengajukan calon yang terbaik menurutnya, tetapi entah mengapa Rafiq belum menemukan kecocokan. Padahal dari fisik dan wajah, mereka tergolong cantik dan manis. Pun dari akhlak, mereka dikenal sebagai gadis yang santun dan lembut. Panggilan kyai kali ini, mau tak mau membuat Rafiq berpikir bahwa sang kyai akan menjodohkannya lagi.

Tak sampai sepuluh menit, Rafiq telah duduk di hadapan Kyai Kamil di ruang mudir. Lelaki berwajah teduh itu menyambut sang pemuda dengan senyum ramahnya.

"Apa kabar, Fiq?" Sang kyai memang baru tiba semalam setelah melakukan kunjungan tiga hari ke pesantren besannya di daerah Jawa Barat.

"Alhamdulillah, baik. Pak Kyai sudah mulai bertugas, apa tidak capek?"

"Nggak, kok. Kan saya disupiri, jadi tinggal duduk manis aja."

"Wah, Pak Kyai bawa oleh-oleh apa, nih, sampai memanggil saya?" tanya Rafiq disertai candaan.

"Kok, kamu tahu saya bawa oleh-oleh? Tahu nggak apa yang saya bawa?" Kyai malah balik bertanya.

"Tentu aja enggak, Pak Kyai," jawab Rafiq disertai tawa ringan.

"Saya bawa kabar tentang calon belahan jiwamu."

Rafiq tersenyum canggung. Ia khawatir kali ini akan kembali menolak jika hatinya tidak menemukan kecocokan.

"Enggak usah sungkan, kalau memang belum klik, Kyai bisa apa?" Lelaki itu tertawa tanpa beban, membuat Rafiq merasa lega.

"Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis yang pernah Kyai ajukan," lanjut sang kyai. "Ia seorang gadis yatim piatu yang enggak punya apa-apa, sangat irit dalam berbicara dan sangat biasa." Kyai Kamil menatap netra sang pemuda seakan bisa mengorek isi hati melalui sorot matanya.

"Rafiq, kali ini Kyai nggak bisa nunjukin foto diri gadis itu. Ia sangat pemalu, sehingga fotonya pun tidak ingin ia perlihatkan."

"Kyai, saya percaya, gadis-gadis itu calon istri  pilihan. Tapi seperti sebelumnya, berikan saya waktu untuk istikharah dan meminta fatwa pada hatiku."

"Saya percaya padamu. Jangan pula rasa sungkan membuatmu enggan untuk menolak." pesannya.

"Terima kasih pengertiannya, Pak Kyai. Saya mohon pamit."

***

Walimatul 'ursy baru saja usai. Dua insan yang disatukan akad baru saja selesai melakukan salat sunnah. Rafiq menghadapkan tubuhnya ke arah sang istri yang tertunduk malu dengan rona merah di pipi, menerbitkan getar halus di hati Rafiq. Terlebih ketika tangan halus itu meraih tangannya dan mencium dengan takzim.

Benarlah bahwa sesungguhnya Allah akan menurunkan rasa cinta pada pasangan suami istri yang menikah karena Allah saat akad diikrarkan. Rafiq memang tidak pernah melihat fisik Alifa Hayya Karima, sang istri. Ia hanya mendapatkan keteguhan hati untuk meminangnya.

Wanita bermata jeli itu memang yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa karena tanah peninggalan orang tuanya diwakafkan untuk pesantren. Ia hanya menempati sebuah rumah sederhana yang berada di dalam lingkungan pesantren.

Alifa memang sangat biasa, karena ia tidak pernah menampakkan wajah rupawannya pada selain muhrimnya. Ia sangat pemalu dan pendiam karena ia menjaga semua kata yang keluar dari lisannya. Semua kekurangan yang dikatakan Kyai Kamil justru menjadi kelebihan wanita berhidung bangir itu.

Rafiq mengangkat tangan kanannya kemudian meletakkan telapak tangan pada puncak kepala istri, lalu berdoa untuk kebaikan dan dihindarkan dari keburukan.

Setelah didoakan, Alifa membuka kerudung. Rambut hitam panjangnya yang harum tergerai, menambah keayuan parasnya. Mata Rafiq membulat ketika pandangannya tertuju pada leher sang istri. Seuntai kalung melingkar, liontin mawar dengan batu biru safir yang tersemat mengingatkannya pada peristiwa dua tahun lalu.

"Mas, kenapa?" tanya Alifa heran melihat tatapan sang suami.

"Kalung itu ...?"

"Oh, ini," sahut Alifa sebelum Rafiq menuntaskan kalimatnya. "Ini kado dari Aba saat aku berhasil menuntaskan hafalan 30 juz." Tampak binar di mata wanita lembut itu.

"Kalung ini sempat hilang di masjid Al-Hidayah, lalu ditemukan seseorang. Waktu Aba bertanya siapa penemu kalung ini, pengurus masjid hanya mengatakan penemunya seorang pemuda." Alifa menarik napasnya perlahan, ditatapnya sang suami yang memandangnya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.

"Lalu?" tanya Rafiq penasaran.

"Aba sangat kagum sama pemuda itu. Kalung ini sangat berharga meskipun kata Aba, hafalan Ifa adalah kado yang lebih mahal. Di masa sekarang sudah sangat jarang orang jujur dan ikhlas mengembalikan tanpa imbalan."

Rafiq hanya mendengarkan. Benar, kalung itulah yang ia temukan.

"Ada satu harapan Aba yang tidak bisa Ifa wujudkan." wajah cantik itu tampak murung.

"Apa itu?"

"Aba berharap suatu saat bisa bertemu pemuda itu dan menjodohkannya dengan Ifa."

"Benarkah?"

"Iya. Kenapa, Mas?" Alifa semakin heran ketika sang suami justru merengkuhnya erat. Beberapa detik kemudian, Rafiq melepas rengkuhannya. Ia memegang kedua bahu sang istri dan menatap matanya dalam.

"Ifa, pemuda itu adalah aku." Kini mata Alifa yang terbelalak, kaca-kaca bening tampak berkilat di matanya.

Keharuan menyelimuti hati keduanya. Ya, dua hati telah dipersatukan oleh keikhlasan dan doa tulus sang ayah, meski kini sang ayah telah kembali keharibaan-Nya. Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?

~ Selesai ~

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun