Saya pernah berbincang singkat dengan seorang tokoh intelektual muda yang rencananya akan maju sebagai calon presiden 2014. Menurutnya, jika Indonesia mau hebat dalam 10 sampai 20 tahun ke depan, harus benar-benar bisa memanfaatkan kekayaannya dalam bentuk sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kelebihan Indonesia dari negara lain adalah kekayaan alamnya. Tapi sayang, kekayaan alam ini tidak diubah untuk meningkatkan kualitas manusia untuk kemudian dijadikan pijakan membenahi kesejahteraan bangsa.
Salah satu kekayaan alam Indonesia yang membuat  ‘iri’ bangsa lain, utamanya Amerika dan Eropa adalah sawit. Tanah Indonesia termasuk yang paling cocok untuk jenis tanaman ini. maka tak heran jika Indonesia masuk dalam list pemasok sawit terbesar di dunia.
Tapi lagi-lagi sayang. Masyarakat Indonesia begitu mudahnya diintervensi asing untuk pengelolaan sumber daya alamnya sendiri. Sawit sering menjadi kambing hitam kerusakan hutan. Padahal, memasuki tahun 2014, industri sawit katanya memiliki prospek yang cukup cerah dan menjanjikan. Sementara, di sisi lain, permintaan dunia belum sepenuhnya pulih dan normal. Momen ini seharusnya bisa dijadikan lompatan dalam memberikan keuntungan kepada bangsa.
Oleh karena itu, kebijakan Indonesia yang akan meningkatkan konsumsi dalam negeri biofuelnya pastinya akan menjadi faktor yang akan menentukan perkembangan kelapa sawit di tahun 2014. Agar semuanya bisa berjalan lancar, diperlukan insentif dan regulasi yang kondusif. Lagi-lagi kita hanya bisa menggantungkan nasib negeri kepada pemerintah.
Saya mengutip sebuah artikel di Beritasatu.com yang di dalamnya tercantum bahwa Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meyakini prospek industri kelapa sawit nasional pada tahun ini cukup menjanjikan. Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk turunannya di pasar internasional diprediksi mampu menembus US$ 1.100 per ton. Hal itu berpotensi mendongkrak ekspor CPO hingga ke level US$ 24,2 miliar.
Wah, itu bukan jumlah yang sedikit. Dengan nilai itu, perekonomian kita bisa terdongkrak dan cita-cita kesejahteraan bangsa bukan lagi angan-angan.
Masih dalam artikel yang sama, disebutkan bahwa peningkatan pesat produksi kelapa sawit mulai nampak kurang lebih 20 tahun terakhir. Selama 17 tahun terakhir, produksi minyak kelapa sawit meningkat hampir enam kali lipat, dari 4,8 juta ton minyak sawit mentah (CPO) pada 1996 menjadi 26 juta ton pada 2013.
Lagi-lagi saya ingin pemerintah menyadari betapa pentingnya komoditas ini.
Pejuang Sawit
Selain memajukan ekonomi nasional, sawit juga berdampak langsung pada perkembangan ekonomi daerah. Kalimantan Barat, misalnya, yang sektor pertanian dan perkebunannya  sampai saat ini ternyata masih merupakan tulang punggung perekonomian daerah, baik sebagai penghasil nilai tambah dan devisa maupun sumber penghasilan atau penyedia lapangan kerja sebagian besar penduduknya.
Saat ini beberapa perusahaan kelapa sawit utama yang berada di Kalbar seperti Sinarmas Agro, Bumitama Gunajaya Agro dan Sampoerna Agri menjadi pendorong utama perkebunan berkelanjutan. Hendaknya pemerintah memberikan kemudahan bagi para pejuang sawit nasional dalam menjalankan roda bisnisnya demi kemajuan ekonomi nasional.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pernah mengatakan, posisi pemerintah bisa dikatakan sebagai perumus regulasi yang tidak membuat pembangunan terhambat. Saya sangat setuju dengan pernyataan Pak Menteri.
Untungnya, pernyataan Pak Menteri itu sejalan dengan SK. 936/Menhut-II tahun 2013 pada bulan Desember 2013 untuk mengatur pengalihan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih kurang 554.137 hektare. Diharapkan, peraturan tersebut memberikan kepastian hukum kepada perusahaan-perusahaan kelapa sawit seperti yang banyak berada di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah untuk beroperasi dan mengelola lahan.
Saya ingin mengutip pernyataan Direktur Eksekutif GAPKI Fadhil Hasan. Katanya, “Indonesia masih merupakan negara dengan basis industri sumber daya alam. Sehingga pengelolaan lahan, tanpa dibarengi pembukaan lahan membuat perusahaan tak bisa melakukan aktivitas perkebunan, pangan dan seterusnya.
Sektor pertanian dan perkebunan sampai saat ini ternyata masih merupakan tulang punggung perekonomian daerah, baik sebagai penghasil nilai tambah dan devisa maupun sumber penghasilan atau penyedia lapangan kerja sebagian besar penduduknya.
Semoga kita semua berada dalam satu visi menuju misi menyejahterakan bangsa lewat kemajuan ekonomi dengan cara pemanfaatan sumber daya alam yang maksimal.