Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Masa Muda yang Anti Mainstream

30 April 2015   15:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 81 0
Setelah hampir 4 tahun fakum dari blog kompasiana ini, saya mencoba untuk mengakses kembali akun saya. Terbayang sudah 4 tahun ini banyak sekali pengalaman hidup yang tertunda untuk saya bagikan sebagai sharing iman kepada setiap anggota blog ini.

Pertama peristiwa kehilangan. Setelah 7 tahun kehilangan ayah saya karena sakit, 2 tahun yang lalu saya kembali harus kehilangan ibu saya karena sakit juga. Dengan usia saya pada saat itu 23 tahun, lengkap saya tidak memiliki kedua orangtua, dimana pada usia saya pada saat itu sangat mendambakan dan membutuhkan kehadiran kedua orangtua, dan begitu dekat relasi saya dengan ibu semasa hidupnya. Begitu banyak peristiwa yang saya bagikan padanya, baik suka maupun duka. Terbayang sekarang saya harus menjalani itu semua sendiri, saya harus menafkahi hidup saya dan menjalani hidup saya dengan segala jalan yang baik di hadapan Tuhan maupun sesama. Kala itu, saya beruntung selama menempuh pendidikan S1 di salah satu universitas swasta di daerah Jakarta, saya mendapatkan beasiswa sehingga tidak membebani keluarga. Karena saya bertekad saya tidak mau menyusahkan ibu.

Seperti seolah firasatnya, beliau (ibu) setelah kepergian suaminya selalu berpesan yang baik-baik kepada saya dan juga anak-anak yang lainnya, untuk tetap bisa jaga diri, ketika nanti ibu meninggal. Beliau selalu mendoakan anak-anaknya setiap sore di dalam doanya, ibu  berdoa menyerahkan anak-anaknya kepada Tuhan manakala kami harus dilepaskan darinya. Setiap kali perjumpaan saya dengannya, ibu selalu berpesan, semua hal-hal yang sedang saya alami, maupun yang belum saya alami, bagaimana saya harus berteman, bergaul dan juga segala urusan asmara. Ya, yang pada intinya saya harus bisa jaga diri baik-baik.

Kala itu, tanggal 19 Januari 2013, ketika bencana banjir melanda Jakarta, saya pun yang pada saat itu tinggal ngekost di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara harus merasakan kebanjiran. Pada tanggal itu, selagi saya membereskan dan membersihkan sisa-sisa banjir, saya menelepon ibu, ibu bilang dia sedang sesak nafas. Baiklah, saya tinggal sebentar supaya ibu bisa beristirahat. Namun, selang beberapa jam, kakak perempuan saya mengirim BBM mengabarkan ibu masuk rumah sakit di daerah Tangerang. Saya bingung, karena akses jalan sebagian belum bisa dilewati karena masih ada genangan, Transjakarta pun belum beroperasi pada waktu itu. Akhirnya saya hanya bisa berdoa, dan berencana esok atau lusa saya akan menengok ibu. Namun, apa daya belum lama kakak perempuan saya mengirim BBM, dia mengabari bahwa ibu telah meninggal.

Bagai petir di kala siang yang cerah setelah musibah banjir itu pun, saya tak berdaya untuk mengucapkan apa pun, yang ada pada waktu itu, saya berbaring di kamar dan menangis, segala ucapan bela sungkawa pun berdatangan, bahkan saya tidak sempat mengabari kekasih saya pada waktu itu. Teman-teman kantor datang ke kost saya untuk menenangkan dan menguatkan. Salah satu teman saya pun berinisiatif mengabari kekasih saya yang pada saat itu tidak sedang ada di Jakarta. Maka, sebelum semua terlambat, saya pun sudah sangat ingin melihat jenazah ibu yang pada waktu itu sudah dimandikan dan terbujur kaku di atas tempat tidur, teman-teman pun berinisiatif mengantarkan saya dengan taksi. Sesampainya di rumah, saya berdoa dan menangis, inikah semua tanda pesan-pesan terakhirmu ibu? Beliau menitipkan segala pesan-pesannya sebelum kepergiannya. Saya pun mencoba untuk menerima dan melaksanakan semampu saya, walau saya tahu ini sangat berat, tidak ada lagi teman saya berbagi cerita, dan tertawa, dan sosok perempuan kuat yang menasehati setiap permasalahan saya.

Demikian sekilas cerita kehilangan yang pernah dan sedang saya alami selama ini. Jika melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi melalui pengalaman saya diatas, bisa saja seorang gadis seusia saya ini berlaku bebas tak bertanggungjawab, karena tidak ada lagi kedua orangtua yang mengawasi, sebut saja misal pergaulan bebas narkotika dan prostitusi. Mungkin, kedua hal tersebut bisa terjadi terhadap saya karena terlalu bebasnya kehidupan saya. Namun, entah kenapa saya tidak terjerumus akan kedua hal tersebut. Sementara di luar sana, mereka yang masih mempunyai orangtua yang bisa mengawasi, ada saja yang terjerumus ke dalam narkotika dan prostitusi. Dimana pendirian mereka?

Saya sangat prihatin melihat keadaan generasi muda, dimana sekarang ini sedang hangatnya topik pembicaraan hukuman mati gembong narkotika, miras, human trafficking, dan prostitusi. Menurut saya sangat disayangkan, apabila kehidupan mereka harus dihiasi gemerlap gelapnya mata demi mendapat "pengakuan" orang-orang sekitarnya. Untuk mendapatkan "pengakuan" tidak harus melalui cara-cara tersebut.

Banyak hal yang mungkin menyebabkan mereka terjerumus, mungkin faktor ekonomi, pergaulan, maupun pengalaman akan hidup mereka sendiri. Tetapi, jika benar yang mempengaruhi itu semua adalah salah satu atau bahkan dari 3 faktor tersebut, sebenernya sangat tidak baik jalannya. Seperti tidak ada saja jalan yang lebih baik dari itu semua untuk mengharumkan ketidakberuntungan di dalam ekonomi, pergaulan maupun pengalaman hidup.

Atau mungkin sudah doktrin orang-orang tua terdahulu kah yang katanya selagi muda nakal tidak apa-apa. Jadi kalau begini ceritanya, apa yang harus dilakukan anak muda sekarang? Selagi muda memang baik jika harus mencoba segala hal, tetapi juga harus pandai memilih, tidak semua hal harus dicoba, apalagi yang sudah jelas-jelas buruk. Pintar-pintar menganalisis seseorang, dan juga menganalisis keadaaan sekitar. Berpikirlah kritis sebelum bertindak.

Menjalani kehidupan tanpa kedua orangtua, saya isi dengan segala hal positif, saya menginginkan pengakuan yang positif dari orang-orang sekitar, saya harus tunjukan, selain saya bisa mandiri, menafkahi diri saya sendiri, saya pun berpendirian untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk di masa gadis saya. Ketika menyelesaikan gelar S1 Komunikasi, saya mendapat predikat cum laude dengan IPK 3.83. Ketika wisuda memang ada kesedihan, ketika predikat itu saya dapatkan, kedua orangtua saya tidak ada menyaksikan itu. Namun, di dalam hati kecil saya ada kepuasan hati, saya persembahkan pencapaian saya itu untuk kedua orangtua saya.

Tidak berhenti sampai disitu, saya terus menjaga diri saya baik, dan berpendirian untuk tidak terjerumus ke dalam hal-hal buruk yang mampu merusak masa-masa gadis saya. Saya ingat selalu pesan ibu, untuk bisa jaga diri. Apalagi untuk hal berpacaran, ibu berpesan untuk berpacaran yang baik-baik, untuk hal menikah, ibu berpesan untuk memilih suami yang baik-baik, kenali karakternya dan keluarganya, ibu tidak ingin kehidupan rumah tangganya yang buruk-buruknya menimpa anak-anaknya, maka kami harus belajar dari sosok kedua orangtua.

That's why, yang tidak memiliki orang tua saja masih bisa bersikap dewasa dengan pendirian untuk bisa jaga diri baik-baik, kenapa teman-teman saya di luar sana yang masih bisa mempunyai kedua atau satu orangtua, masih ada yang bersikap tidak kritis hanya karena faktor-faktor tertentu. Bangkitkanlah jiwa muda kalian yang positif. Berjuanglah demi masa depan kalian yang positif. Jangan rusak sedini mungkin apa yang sudah kalian hidupkan selama bertahun-tahun sampai berpuluh-puluh tahun. Segala ambisimu, cita-citamu, usiamu, dan keluargamu. Sebelum semua terlambat, semoga apa yang saya tuliskan ini bisa memotivasi dan membuka pikirian para anak muda. Sedikit tidak apalah, daripada tidak sama sekali mereka terbuka pikirannya. Atau kalau ada yang mau  sebentar bertukar posisi dengan saya, saya bersedia, supaya teman-teman muda yang lain merasakan bagaimana arti "berjuang" tanpa keduaorangtua di usia muda.

SEMANGAT!!!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun