Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Mimpi akan Jakarta Baru yang Tangguh (1): Perlukah Program Giant Seawall?

22 Desember 2013   13:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 114 1

Mari bermimpi tentang suatu pagi di Utara Jakarta yang cerah dengan wangi khas ganggang dan kerang laut yang menyatu dengan semilir angin pantai, dilengkapi sahutan camar di kejauhan. . . Nikmat, tenang, menyegarkan. Memandang laut jauh hingga batas cakrawala hanya air jernih kebiruan. di arah daratan terlihat  wajah kota baru yang dipenuhi tinggi gedung hotel dan perkantoran yang tertata apik, jalan lingkar pantai yang anti macet, dan danau laguna air tawar tempat ketujuh sungai baru Jakarta yang bersih dan bebas bau bermuara di sana. Luar biasa nikmatnya.

Itulah wajah kawasan pantai di Utara Jakarta di tahun 2050, saat konsep NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) menjadi kenyataan. Jakarta menjadi kota yang tangguh terhadap ancaman bencana klasik kota pantai. Bebas rembesan pasang air laut (rob) akibat penurunan muka tanah, cadangan air tanahnya melimpah dan aman dari intrusi air laut, sungainya bersih dan bebas bau bahan pencemar, kawasan perkampungan nelayan tradisionalnya tetap hidup karena ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karangnya tetap terjaga dan bersinergi dengan rutinitas kota yang terpantau. Kota ini juga akan menjadi daya tarik bisnis dan wisata karena sistem transportasi kota dibangun terintegrasi dengan kawasan sekitarnya, dimana tol lingkar pantai dan jalur MRT menghubungkan bandara, pelabuhan laut, dan sentra bisnis Jakarta dengan kawasan serupa di Jawa barat dan Banten. Kampung urban tradisional dan kampung nelayan menyatu dengan baik di antara sinergi hutan beton dan hutan kota di kawasan reklamasi dengan pola hidrologi sungai dan laut yang ditata dan terkelola baik.

Itulah mimpi pemerintah Indonesia dan administratur kota Jakarta saat ini, akan sebuah ibukota negara yang baru tanpa harus memindahkannya dari ibukota Jakarta saat ini. Mengatasi persoalan Jakarta tanpa harus lari dari persoalan itu sendiri dan membiarkan Jakarta tenggelam karena rob dan banjir bandang, atau terkunci oleh kemacetan parah yang tidak berujung dan akhirnya ditinggalkan satu persatu oleh pelaku usaha sekaligus penduduknya.

Konsep NCICD sendiri merupakan hasil metamorfosis beberapa konsep yang sebelumnya telah diusulkan banyak pihak dari dalam dan luar negeri untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan yang serius mengancam Jakarta hari ini. Tujuannya hanya satu: Melindungi Jakarta dari ancaman bencana langsung (banjir, rob, kekurangan air tanah, kerusakan rumah dan gedung,dll.) dan bencana tidak langsung (macet, konflik sosial, penurunan harga jual properti, dll.) sebagai akibat dari dari ekosistem yang tidak terjaga yang dapat menenggelamkan kota ini secara fisik maupun ekonomi 30-50 tahun ke depan.

Berawal dari rencana peninggian tanggul pantai (seawall) untuk melindungi beberapa kawasan Jakarta dari limpasan air laut akibat penurunan muka tanah, yang disebabkan oleh rapuhnya struktur tanah, hasil dari pengambilan air tanah yang masif dan tidak terkontrol. Laju penurunan permukaan tanah rata-rata terukur saat ini sebesar 7,5cm dan terekam paling parah mencapai 17cm per tahunnya (hasil pengukuran pada November 2007 hingga 2013 di beberapa kawasan di Jakarta Utara). Ini berarti pada tahun 2020, kawasan pemukiman dan perkantoran di Jakarta Utara akan lebih rendah antara + 1m hingga 2,2m dari posisi awal di tahun 2007. Artinya hanya butuh 6 tahun sejak hari ini untuk melihat rumah-rumah dan kantor di kawasan tersebut daun pintunya hanya terlihat seperti jendela karena sebagian bangunan tersebut telah terendam air. Sayangnya gambaran tersebut kali ini bukan mimpi, tapi kenyataan yang pasti terjadi – jika saja kita hanya berdiam diri atau sepakat untuk bertindak tapi tidak melakukan apa-apa.

Sejak 2008 pemerintah telah membuat rencana jangka panjang untuk melindungi kawasan-kawasan yang terimbas paling parah. Diantaranya dengan membangun tanggul pantai dan rumah pompa berkapasitas besar. Namun karena laju penurunan tanah yang tidak berkurang, tanggul tersebut dengan cepat terlampaui oleh air laut, utamanya saat pasang tertinggi dan kondisi badai. Lebih parahnya lagi, dengan asumsi laju penurunan yang sama, setelah tahun 2025 air sungai di Jakarta tidak akan bisa lagi mengali ke laut tanpa bantuan pompa bertenaga besar karena permukaan laut menjadi lebih tinggi dari sungai-sungai tersebut. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, maka jakarta layaknya sebuah mangkuk raksasa yang dipenuhi air dari sungai-sungai yang tidak mengalir, air hujan yang tidak meresap dan air laut yang meluap. Kondisi ini semakin parah jika terjadi saat pasang purnama di musim hujan.

Lalu apa reaksi kita? Mencari ibukota baru dan pindah bedol desa? Atau membangun tanggul tinggi di sepanjang pantai dan membuat waduk beratus hektar dan rumah pompa sebanyak-banyaknya? Atau mereklamasi pantai dan membuat kawasan kota baru, lengkap dengan laguna yang sekaligus berfungsi sebagai pengendali air, tanggul pantai dan pelindung alami? Ketiga opsi tersebut tidak ada yang murah dan semua mengandung potensi konflik ekonomi dan sosial, tentu saja. Tapi doing nothing atau tidak berbuat apa-apa, meskipun juga sebuah pilihan adalah sama saja dengan membiarkan Jakarta (dan penduduknya) mati secara perlahan. Kejahatan yang lebih sadis, tentu saja.

Dengan alasan itulah pemerintah RI dan kota Jakarta telah bersatu hati untuk memulai program/proyek penyelamatan pantai Jakarta yang masif, spektakuler dan ambisius, bahkan tidak masuk akal bagi sebagian kalangan. Namun dengan alternatif yang tidak banyak, tentu saja pilihannya sedikit pula: maju atau tidak sama sekali. Proyek atau lebih tepatnya program ini dinamakan Pembangunan pantai terintegrasi Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development-NCICD) yang akan mereklamasi perairan teluk Jakarta yang kedalaman rata-ratanya saat ini sekitar 16m menjadi lahan pemukiman, perkantoran, jalan bebas hambatan, jalur MRT dan KRL, laguna dan lainnya seluas 4.000Ha! Dengan lahan dan fasilitas seluas itu diharapkan dapat menjadi tempat beraktifitas sekitar 2,5 juta penduduk Jakarta, seskaligus menjadi icon baru ibukota Republik Indonesia. Namun pertanyaan klasiknya tentu saja: Berapa dana yang dibutuhkan? Tentu jumlahnya sesfantastis hasil yang digambarkan di atas. Sekitar 5 milyar dollar AS atau setara minimal 6,1 tilliun rupiah! (kurs US$1=Rp12.200). Itu perhitungan minimal. Apalagi proyek tersebut akan dibuat bertahap, sesuai kebutuhan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat nantinya. Luar biasa bukan?

Rencana Tahapan Pembangunan Giant Seawall (NCICD 2013)

Namun tidak ada yang tidak mungkin jika kita sudah bertekad bulat. Kekuatan dari tekad itu tentu saja iadalah ancaman kerugian yang jauh lebih besar jika kita tidak berbuat apa-apa, ataupun mengambil pilihan yang salah (sumber media massa, kerugian dari banjir di awal tahun 2013 lalu saja mencapai 19 milyar rupiah). Belum lagi dampak sosial dan psikologis yang hingga hari ini masih terasa.

Pertanyaannya, siapkah kita dengan segala konssekuensi dari program/proyek ini? Mulai dari konsekuensi biaya yang luar biasa besarnya (meskipun pemerintah nantinya akan mendapat keuntungan dari penjualan/penyewaan lahan dan fasilitas yang ada); potensi konflik sosial akibat dari relokasi kampung nelayan, kawasan kumuh di sepanjang pantai, pelabuhan perikanan, galangan kapal, pelabuhan rakyat dll; potensi penurunan nilai properti di kawasan tersebut selama pembangunan berlangsung dan yang lebih penting: ancaman kerusakan lingkungan sejak proses konstruksi hingga beroperasinya kawasan tersebut nantinya.

Potensi kerusakan lingkungan yang diperkirakan diantaranya adalah berubahnya siklus hidrologi di muara sungai saat ini dan di pesisir daerah sekitarnya (selama proses pembangunan hingga beroperasinya kawasan tersebut; menghilangnya beberapa spesies flora dan fauna endemik/khas di daratan dan perairan pesisir Jakarta; hilangnya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang (karena teluk Jakarta menjadi laguna yang dipenuhi air yang lebih tawar) polusi bau akibat proses eutrofikasi dari pengayaan nutrien berlebih, utamanya di laguna buatan (yang saat ini adalah sebagian dari Teluk Jakarta) yang berasal dari buangan dari sungai-sungai yang belum sepenuhnya bersih dari polutan kimiawi dan biologi; polusi minyak dan bahan kimia dari pelabuhan Tanjung Priok yang rencananya akan diperluas, hingga berubahnya kawasan pesisir Jakarta saat ini menjadi septic tank raksasa karena beberapa sungai yang dibendung (rencananya minimal 5 dari 13 sungai yang bermuara di Teluk jakarta akan dibendung) akan menjadi waduk yang tinggi kandungan polutan biologi dan kimiawinya (dengan asumsi pencemaran dari hulu dan sepanjang badan sungai belum berhasil sepenuhnya dan tidak ada akses ke laut untuk proses penjernihan alami).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun