Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Korupsi Menggurita, Mampukah UU Perampasan Aset Menghentikannya?

10 April 2023   20:42 Diperbarui: 10 April 2023   20:44 129 0

Kasus kejahatan korupsi di negeri ini kian menggurita. Bagaimana tidak, korupsi bukan hanya  dilakukan oleh pejabat, anggota dewan ataupun ASN, bahkan kini tak segan dilakukan secara berjamaah.

Kasus terbaru diantaranya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencekal 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020---2022 ke luar negeri. (Antaranews, 31-03-2023).

Kini pun ramai dibahas terkait RUU perampasan aset tindak pidana. Menko Polhukam, Mahfud MD, meminta permohonan khusus kepada komisi III DPR, ketika membahas adanya transaksi janggal senilai 349 triliun rupiah di Kementerian Keuangan. Arsul Sani, Anggota Komisi III DPR, telah mengaku, menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini. Sebab, menurutnya, kehadiran RUU ini akan diperlukan guna proses pengembalian kerugian negara dapat dilakukan lebih baik dan lebih cepat.

Sementara itu, Bambang Pacul selaku Ketua Komisi III DPR mengatakan bahwa pengesahan RUU ini tergantung pada "BOS" partai. Menurut pendapatnya, semua anggota DPR patuh dan tunduk kepada ketua umum partai ya, sehingga tidak bisa mengambil keputusan sendiri terkait pengesahan RUU ini.


Padahal, Indonesia sendiri telah menandatangani konvensi tersebut di tahun 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) nomor 7 tahun 2006. Namun, faktanya Indonesia belum memiliki aturan baku terkait perampasan aset. Perampasan aset ini pada praktiknya hanya bisa dilakukan oleh putusan peradilan.

Lantas, benarkah pengesahan RUU ini mampu untuk mencegah korupsi hadir kembali?

Korupsi, Membudaya!
Banyaknya kasus tindak pidana korupsi ini mengindikasikan bahwa hukum di negeri ini sedang tidak baik-baik saja, bahkan bisa dikatakan rusak. Korupsi begitu sulit diberantas, sebab tengah membudaya dan begitu mengakar dengan kuat.

Bahkan, para penegak hukumnya saja  begitu mudah untuk disuap, hukum mudah dibeli. Padahal kemana masyarakat harus mencari keadilan di dunia ini? Padahal dengan tegas Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat adil bahkan kepada ibu, bapak dan kerabat sekalipun (lihat Surah An-Nisa ayat 135)

Pemberian sanksi kepada pelaku korupsi juga sangat ringan. Tak jarang, pelakunya mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan. Sebab, dianggap sudah berkelakuan baik, juga telah menjalani sepertiga masa tahanan. Bahkan, harta hasil korupsi hampir tidak pernah ditarik kembali oleh negara. Mereka bisa menikmati masa tahanan yang ringan lagi singkat, dan tetap bisa menikmati harta hasil korupsi bersama anak keturunannya.

Tidak pernah ada penanganan yang tegas untuk pelaku tindak kejahatan luar biasa ini. Padahal, sudah semestinya mereka diberikan hukuman yang bisa memberikan efek jera. Jika hukuman ringan dan keuntungan yang didapatkan justru menggiurkan maka mustahil korupsi di negeri bisa dihentikan.


Sikap amanah para pejabat dalam sistem yang diusung hari inipun sangat langka. Bahkan, bisa dikatakan sesuatu yang sangat sulit untuk didapatkan pada diri seorang pejabat. Sebab, sistem Kapitalisme yang memiliki asas sekularisme ini, yakni pemisahan antara agama dengan kehidupan tidak meletakkan iman dan Islam sebagai perisai bagi para pejabat. Sebagaiman pernah dinyatakan oleh Mahfud MD, " Malaikat yang masuk ke sistem ini pun bisa menjadi Iblis."

Jikalau RUU Perampasan Aset ini disahkan menjadi UU, dapat dipastikan tidak akan efektif memberantas korupsi dengan tuntas hingga akarnya. Akan banyak cara yang dilakukan oleh para tikus berdasi untuk lolos atau ringan dalam hukuman.


Islam Solusi Nyata Pemberantasan Korupsi

Islam sebagai sistem kehidupan akan menyelesaikan permasalahan korupsi hingga tuntas, sampai ke akarnya. Sistem Islam  akan membentuk individu-individu yang bertakwa dengan penanaman akidah yang kuat. Kewajiban amar makruf nahi mungkar juga dijalankan, agar mencegah masyarakat terjerumus pada tindakan korup. Selain itu, negara yang menerapkan sistem Islam akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku tindakan kejahatan korupsi.

Tindak pidana korupsi ini adalah salah satu tindakan ghulul yaitu tindakan melanggar syariah Islam, karena memperoleh harta secara curang. Pelakunya akan dikenai sanksi ta'zir yang hukumannya akan diserahkan kepada Khalifah atau hakim (qadhi) berdasarkan ijtihadnya. Khalifah atau hakim akan menyita hasil kekayaan yang didapat dari korupsi, juga menjatuhkan hukuman yang menjerakan seperti cambuk, pengasingan, bahkan hingga hukuman mati berdasarkan hukum Islam.

Peradilan dalam Islam akan diisi oleh orang-orang yang adil dan benar-benar bertakwa yang memenuhi syarat menjadi seorang qadhi (hakim), dalam pandangan Islam. Akan menjadi sebuah musibah ketika jabatan hakim justru diisi oleh orang-orang yang jahil dan rakus. Selain itu, seorang hakim juga mesti menjadikan hukum Islam untuk mengadili sebuah perkara, bukan dengan hukum lain, karena hukum Islam inilah hukum yang adil dan terbebas dari intervensi manusia.

Rasulullah Saw. bersabda:

"Sungguh hakim itu ada tiga golongan, dua di neraka dan satu di surga: (1) hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan perkara dengan ilmunya, maka ia berada di surga; (2) hakim yang memberikan putusan kepada manusia atas dasar kebodohan, maka ia di neraka; (3) hakim yang berlaku curang saat memberikan putusan, maka ia di neraka." (HR Ibnu Majah)

Hanya dengan menjadikan sistem Islam sebagai solusi, negara akan menjadi negara yang diliputi keberkahan dan bebas dari korupsi, juga tercetak nya manusia, hakim dan pemimpin yang bertakwa. Inilah solusi nyata, bahwa Islam akan membumihanguskan gurita korupsi hingga akarnya. Semua ini akan terwujud pada negara yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a'lam bisshowab

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun