Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Mati Siji Mati Kabeh

12 Februari 2015   17:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20 708 3
TIJI TIBEH
“mati siji mati kabeh”
Agaknya kondisi politik di Indonesia semakin hari semakin hangat saja, saling serang, saling bongkar, saling buka aib dan saling sandra kasus hukum. Mereka punya legitimasi sendiri-sendiri, punya kekuatan dan basis massa sendiri-sendiri. Bisa jadi kondisi politik tidak hanya menghangat, tapi menjadi lebih panas. Hegemoni partai politik terhadap kebijakan pemerintah (dalam hal ini presiden) sangat kuat, sehingga muncullah orang-orang yang sakit hati akibat dari tidak terakomodasinya kepentingan politik mereka, baik yang di internal partai maupun di luar partai yang semula bahu-membahu memenangkan calon presiden mereka. Akhirnya hak prerogratif presiden tercabut karena presiden sendiri tersandera oleh partai pendukungnya.

Santernya perseteruan antara KPK Vs POLRI mungkin sebentar lagi akan merembet pada institusi penyelenggara Pemilu dan Pengawas pemilu, yakni KPU dan BAWASLU, tentu menunggu ocehan dari BG yang konon katanya menyimpan data-data valid kecurangan Pilpres tahun lalu. Jika dibiarkan saja maka akan terjadi kegaduhan politik, sementara sebagian besar anggota DPR saya yakin telah mempersiapkan alat untuk melakukan impeachment atau pemakzulan presiden. Sebagai orang yang tidak memilih Jokowi dalam pilpres, tentu saya juga tidak berharap itu terjadi.

Jika kita melihat, mendengar dan mengamati statement para petinggi negara seolah mereka ingin mengejawantahkan semboyan TIJI TIBEH (mati siji mati kabeh) mati satu mati semua, dalam hal ini tentu mati karier dan jabatannya (dan sangat mungkin menghilangkan nyawa lawan politiknya), hal ini tentu kita sudah mafhum. Sungguh malang bangsa kita ini, memiliki pejabat yang tidak berjiwa kesatria, tidak mau menanggung akibat dari sebab yang mereka lakukan sendiri. Tidak mampu menjaga aib kawannya, saling gigit, saling baku hantam dan saling menjatuhkan. Politik "domino" yang sangat membahayakan keberlangsungan pemerintah dan negara. Melihat kondisi seperti ini apakah ramalan ketujuh Joyoboyo “Tikus Pithi anoto baris” akan segera jadi kenyataan?

Bisa jadi "Tikus Pithi" yang disebut Joyoboyo dalam ramalan tersebut adalah para koruptor yang sedang menata barisan untuk menyelamatkan dan mengamankan diri dengan menghancurkan lembaga antikorupsi yaitu KPK (bisa KPK dan POLRI) karena dua lembaga ini sama-sama mempunyai wewenang untuk melakukan penanganan kasus korupsi, hal ini sudah nampak terjadi. Apakah konflik yang terjadi antara KPK dan POLRI itu murni perseteruan oknum antarlembaga, atau mungkin ada kepentingan lain yang memanfaatkan KPK dan POLRI. Tentu kita hanya bisa menduga-duga saja, sementara korupsi hampir di semua lini terjadi, ibaratnya dari kepala sampai kaki sudah membusuk, tinggal hancurnya saja, ditambah pelemahan terjadi di dua lembaga penegak hukum.

Namun bisa juga yang disebut "Tikus Pithi anoto baris" atau tikus-tikus kecil menata barisan adalah rakyat Indonesia yang menata barisan untuk melakukan revolusi. Jika rakyat yang melakukan perlawanan sudah pasti akan terjadi "goro-goro" dan korban jiwa akan kembali berjatuhan melebihi peristiwa 1998. Disadari atau tidak saat ini rakyat sudah jenuh dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Saat pemilu legislatif para caleg dalam satu partai saja saling sodok dan saling menjatuhkan hanya untuk sebuah kursi jabatan, sementara rakyat sebagai pemilih lebih banyak yang memilih karena materi yang didapat. Setelah jadi anggota dewan sebagian besar dari mereka melakukan balas dendam kepada “rakyat”, dulu saat pencalegan pemilih yang menghabiskan uang caleg, sekarang giliran “wakil rakyat” yang menghabiskan uang rakyat.

Di sisi lain, perekonomian bangsa sudah dikuasai oleh nonpribumi. Sektor-sektor penting seperti migas, pertanian, perkebunan, perdagangan sampai dengan air sebagian besar asing yang menguasai. Anak bangsa hanya menjadi buruh pabrik, buruh tani, buruh perkebunan, buruh tambang, serta buruh nelayan, sementara yang tidak tahan mencari nafkah di dalam negeri akhirnya mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri dengan segala risiko yang mereka hadapi, mulai dari penghinan, pelecehan, penyiksaan sampai nyawa menjadi taruhannya, untuk apa? Hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka di Indonesia.

Apakah belum cukup syarat dan rukunnya revolusi?
Wallahu a’lam bish-shawabi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun